Rabu, 23 Januari 2013

DPR Desak Polisi Tuntaskan Kasus Illegal Logging

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, meminta polisi menuntaskan kasus dugaan pembalakan liar (illegal logging) yang masih terjadi.
 
Kasus-kasus tersebut harus segera diusut dan dilimpahkan ke pengadilan. Salah satunya dugaan illegal loging yang dilakukan oleh anak perusahaan asing dari Inggris, yaitu M.P. Evans & Co Limited. "Usut tuntas! Kalau terbukti tangkap dan seret pelakunya ke meja hijau," tegas Didi Irawadi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (22/1/2013).
 
Dia melanjutkan bahwa illegal logging bukan sekadar kejahatan biasa, karena hal itu ujungnya akan merusak alam. Bila dibiarkan tanpa penindakan, maka akan merugikan bangsa, negara dan masa depan kemasyarakat. "Ini akan merugikan hingga ke nasib anak cucu di kemudian hari," tegas Didi.
 
Hal senada disampaikan oleh anggota Komisi III lainnya dari Fraksi PKS, Aboebakar Al-Habsyi, yang meminta Kapolri memberikan atensi khusus untuk perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang lingkungan, termasuk kasus illegal loging.
 
"Bencana banjir yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh penebangan ilegal yang akhirnya menganggu ekosistem lingkungan," kata Aboebakar.
 
Atas laporan adanya pembukaan lahan perkebunan di atas lahan Kawasan Budidaya Kehutanan seluas 540 Hektar di Kutai Kertanegara, Aboebakar mendesak agar seharusnya Polda Kalimantan Timur memberi perhatian khusus.
 
Dia menjelaskan lahan seperti itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk perkebunan kelapa sawit. Oleh karenanya, atas dugaan telah melakukan illegal logging tersebut, aparat harus serius melakukan penyidikan. Bila tidak penegakan hukum di Indonesia akan diremehkan oleh para investor.
 
"Apalagi saya dengar terlapor yaitu saham mayoritasnya dimiliki perusahaan publik Inggris, yaitu MP Evan & Co Limited. Saya akan minta Kapolri untuk melakukan supervisi kepada Kapolda soal perkara ini," ujarnya.
 
"Bila Kapolda tidak memberikan perhatian yang serius terhadap perusakan lingkungan. Karena dampak dari kegiatan yang demikian akan menyengsarakan masyarakat luas, oleh karenanya perlu dilakukan penegakan hukum secara tegas," tegasnya.
 
Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, pengacara dari seorang Direksi M.P. Evans & Co Limited, yaitu Robin Siagian dan Henry Napitupulu dari Kantor Pengacara SNR, telah mengajukan bukti-bukti kepada Polda Kaltim. Bahwa anak perusahaan M.P Evans Company, PT. Prima Mitra Jaya Mandiri (PMJM) dan PT. Teguh Jayaprima Abadi (TJA), telah membuka lahan perkebunan dengan menebang pohon pada lokasi Budi Daya Kehutanan (KBK) seluas 806 Hektar di Kabupaten Kutai Kertanegara yang seharusnya tidak dimaksudkan untuk perkebunan kelapa sawit
 
Robin mengungkapkan bahwa ternyata di atas lahan KBK tersebut, PT. PMJM telah melanggar kawasan KBK dengan membangun bangunan, gudang, rumah, dan kantor sejak 2008. Bahkan di lahan tersebut PT. PMM telah melakukan panen sawit.
 
"Jelas bahwa perusahaan itu telah melanggar Pasal 1 UU Kehutanan No. 40 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaan sebagai hutan tetap, dan karenanya setiap penggunaan dan atau pemanfaatan wilayah hutan atau Kawasan Budidaya Kehutanan yang tidak sesuai dengan peruntukannya merupakan perbuatan melawan hukum," ujar Robin.
 
Sementara itu Henry Napitupulu mengungkapkan bahwa pihaknya bahkan juga telah mendapatkan surat konfirmasi melalui surat Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.1199/VII-KUH/2012 Tanggal 5 Oktober 2012 atas permintaan perihal tanggapan terhadap permohonan informasi dan konfirmasi yang diajukannya.
 
"Surat tersebut menegaskan bahwa lahan yang dimaksud termasuk ke dalam lahan yang tertera ke dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Henry.
 
Henry juga mempertanyakan alasan penyidik Polda Kaltim yang disampaikan dalam Surat Perkembangan Penyelidikan pada tanggal 3 Oktober yang menyatakan kesulitan untuk memanggil maupun melakukan pemeriksaan terhadap para direksi yang disebutkan berada di luar negeri.
 
"Karena Klien kami mengetahui dengan jelas, selaku sama-sama direksi bahwa Direktur Utama kedua anak perusahaan M.P.Evan tersebut selalu berada di Jakarta ataupun Kutai Kartanegara, mengingat saat ini mereka telah melakukan penanaman bahkan telah memanen lahan kelapa wawit seluas 10.000 Hektar, yang didalamnya termasuk 806 Hektar yang berada dikawasan Budidaya Kehutanan tersebut," ujarnya.
 
Kasus ini bermula saat Halim Jawan yang memiliki saham sebesar 92 Persen di PT. PMJM & PT. PJA menolak mengurus Hak Guna Usaha (HGU) di atas lahan KBK dan mengingatkan mitra asingnya agar tidak melakukan Illegal logging.
 
Namun dirinya malah dituduh menggelapkan dana pengurusan HGU sebesar USD 2 Juta, yang bahkan saat ini disidangkan di PN Jakarta Selatan. Padahal dana tersebut diterima Halim sebagai bagian dari perjanjian jual beli saham antara Halim Jawan dengan M.P Evan terkait dengan kepemilikan saham Halim di PT. PMJM dan PT. TJA.
 
Robin menilai tuduhan tersebut tak berdasar, sebab bagaimana mungkin kliennya menggelapkan uang pengurusan HGU, karena menurut perjanjian jual beli saham yang dilakukan kliennya dengan mitra asingnya tersebut.
 
"Klien kami baru akan menerima semua haknya sebesar USD 6 Juta apabila seluruh izin HGU telah keluar, jadi klien kami dibayar berdasarkan termin prestasi pengurusan HGU, dan jadi perlu diingat bahwa adalah bohong jika disebutkan perusahaan mengalami kerugian sebesar 2 juta USD karena terlambatnya pengurusan HGU, karena faktanya saat in perusahaan telah memiliki 10.000 hektar perkebunan kelapa sawit yang telah dipanen dari total 33.500 Hektar kawasan yang dimilki Izinnya PT. PMJM dan PT. TJA," terangnya.
 
Sebagai catatan saat ini Halim Jawan hanya memiliki saham 7,5 persen, dan pihak M.P Evan telah meminta Halim Jawan untuk menghentikan pengurusan HGU. Itu berarti Halim Jawan tidak akan menerima haknya sebesar USD 6 Juta dari saham yang ia jual yang seharusnya dibayarkan oleh M.P Evan jika proses HGU itu telah selesai.
 
"Kami berharap Bapak Kapolri dapat memberikan atensi dan meminta Kapolda Kaltim untuk menuntaskan kasus ini, karena ilegal loging sebesar 806 Hektar adalah jumlah yang besar," tutup Robin.

0 komentar:

Posting Komentar