This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 27 Juni 2011

Pemerintah Percaya Marty



Migrant Care menilai kedua negara angkuh.

JAKARTA -- Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi saling bantah meminta maaf terkait kasus hukuman mati terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ruyati bin Satubi. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Marty Natalegawa menyatakan bahwa Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Abdurrahman Muhammad Amin al-Khayyath, telah meminta maaf karena Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak memberitahukan soal hukuman pancung kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi.

Pernyataan itu disampaikan seusai Marty bertemu dengan al-Khay yath di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Rabu (22/6).

Pernyataan Marty ini kemudian dibantah oleh Kedubes Arab Saudi untuk Indonesia, Kamis (23/6) malam. Menurut al-Khayyath, Pemerintah Arab Saudi tidak pernah menyampaikan permintaan maaf, termasuk Dubes Arab Saudi, sebagaimana disampaikan Menlu Marty Nata legawa.

Atas hal ini, Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menyatakan, pemerintah memegang keterangan Menlu Marty Natalegawa. Saya kira, Pak Marty jelas sekali seperti yang disampaikannya kepada publik, ujar Teuku saat dihubungi Republika, Sabtu (25/6).

Mengenai benar tidaknya pernyataan Marty itu, Teuku meminta hal ini diklarifikasi kepada jubir kemenlu. Namun, Teuku berharap, kejadian yang menimpa Ruyati tidak terulang lagi di masa mendatang.

Menurutnya, hubungan di plomatik kedua negara harus tetap terjaga dengan baik. Apalagi, keberadaan Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia maupun sebaliknya adalah untuk kepentingan nasional masing-masing negara. Kalau diputus, lalu ba gaimana dengan satu juta pekerja kita yang ada di Saudi. Karena itu, hubungan baik tetap dibina sebaik mungkin, ujarnya.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI Aboe Bakar menyatakan, prihatin dengan pernyataan masingmasing pihak yang saling membantah itu. Bila benar bohong, secara etis sebaiknya Menlu mengundurkan diri. Namun secara yuridis, sebaiknya kebohongan publik ini harus dilaporkan kepada aparat hukum supaya menjadi pembelajaran bagi pejabat lain agar tidak senang membohongi rakyat.

Aboe melihat persoalan ini memperlihatkan rendahnya moralitas dan integritas pejabat publik. Saya lihat pidato para pejabat bersama presiden ke marin lebih bernuasa ABS (Asal Bapak Senang-Red), mung kin secara psikologis takut kena reshuffle. Memang masih perlu dibuktikan, siapa yang sebenarnya berbohong, Menlu atau dubes? tegasnya.

Analis Kebijakan Publik Migrant Care, Wahyu Susilo, melihat sikap Pemerintah Saudi terlalu angkuh dengan tidak mengucap maaf atau penyesalan. Hal ini sudah seharusnya membuat marah pemerintah dan meng usir Dubes Saudi dari Tanah Air. Pernyataan Menlu lebih karena desakan masyarakat yang menginginkan kata maaf dikeluarkan Dubes Sau di, ujar nya. Namun, Menlu Marty Natalegawa juga harus menyampaikan klarifikasinya terkait bantahan Du bes Saudi atas ucapannya.

Sayangnya, lanjut Wahyu, keangkuhan juga ditunjukkan Pe merintah RI. Terbukti dengan ditolaknya permintaan minta maaf pemerintah kepada keluarga Ruyati atas kelalaian dan kelemahan diplomasi Kemenlu di Saudi. c41 ed: syahruddin el-fikri

PKS: Indonesia Darurat Narkoba, Instruksi SBY Cuma Pencitraan


RMOL. Peredaran narkoba di Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Bahkan kondisi Indonesia sudah memasuki kategori darurat narkoba.

"Indonesia sudah dijadikan sebagai pasar potensial narkoba. Jumlah masyarakat Indonesia sangat besar sementara aturan sangat longgar," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online, sesat lalu (Minggu, 26/6).

Aboe geram karena melihat orang yang sudah di penjara di Lapas NusaKambangan dan Lapas Bali malah berbisnis narkoba di dalam kurungan. Perdagangan narkoba di lapas sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk diatasi.

"Saya gak habis pikir, katanya pemerintah getol memberantas narkoba. Tapi Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No.04/ 2010 yang membebaskan pengguna sabu di bawah 1 gram, ekstasi di bawah 2,4 gram, heroin di bawah 1,8 gram, kokain di bawah 1,8 gram, ganja di bawah 5 gram, daun koka di bawah 5 gram dan meskalin di bawah 5 gram. Logika mana nih yang dipakai?" kata Aboe.

Hari ini, kata Aboe, Presiden SBY berpidato dan memberikan instruksi untuk meningkatkan intensitas dan ekstensitas pemberantasan, pencegahan, penyalahgunaan, dan perdagangan gelap narkoba. Di sisi lain, peredaran narkoba tetap dibiarkan bebas.

"Maka sangat wajar kalo instruksi Presiden SBY dalam pidato itu hanya pencitraan," demikian Aboe. [yan]

Awas, Indonesia Darurat Narkoba


JAKARTA--MICOM: Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar mengkhawatirkan peredaran narkoba di Indonesia yang sudah sangat kronis dan berkategori darurat narkoba. Indonesia, menurut politisi PKS itu, sudah dijadikan sebagai pasar potensial setelah melihat banyaknya orang yang sudah terjerat menjadi pecandu barang haram tersebut.

"Jumlah masyarakat Indonesia sangat besar dan aturannya longgar, dijadikan pilihan pasar oleh para Bandar besar. Bila mau jujur, persoalan narkoba pada bangsa ini sudah kronis, Indonesia sudah darurat nerkoba," ujarnya, di Jakarta, Minggu (26/6).

Aboe kemudian menceritakan hasil kunjungan kerja ke Komisi III ke LP Nusa Kambangan beberapa waktu yang lalu serta ke Lapas Bali pada bulan sebelumnya. "Bahkan, orang yang sudah masuk penjara pun masih bisa menjalankan bisnis ini, bayangkan seberapa besar pengaruhnya. Pekan kemarin saya ke Nusakambangan, ketika saya tanya persoalan ini, ternyata perdagangan narkoba di LP sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk diatasi meskipun beberapa kali ganti menteri," papar Aboe.

Lebih lanjut Aboe merasa bingung dengan sikap pemerintah terhadap narkoba. "Saya tidak habis pikir, katanya, pemerintah getol memberantas narkoba, tapi Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No 04 Tahun 2010 yang membebaskan pengguna sabu di bawah 1 gram, ekstasi di bawah 2,4 gram, heroin dibawah 1,8 gram, kokain di bawah 1,8 gram, ganja di bawah 5 gram, daun koka di bawah 5 gram dan meskalin di bawah 5 gram. Logika mana yang dipakai?" ujar anggota DPR dari Kalsel ini.

Selanjutnya, ia menambahkan, sekarang ini, Presiden Yudhoyono memberikan instruksi untuk mengingkatkan intensitas dan ekstensitas pemberantasan pencegahan penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkoba, serta memberikan hukum yang keras untuk para pelaku kejahatan narkoba. Aboe mengutip beberapa instruksi SBY yang disampaikan pada 'Hari Anti-Narkotika Internasional, Menuju Indonesia Bebas Narkoba 2015', Minggu (26/6), di Monas, Jakarta.

Namun, Aboe juga mengemukakan, apabila melihat realitanya, sangat wajar apabila instruksi Presiden Yudhoyono dalam pidato itu hanya terlihat sebagai 'pencitraan' semata. (Ant/OL-11)

Sabtu, 25 Juni 2011

Aboe : Sebaiknya Menlu Mundur


Jakarta, CyberNews. Munculnya bantahan dari Dubes Arab Saudi mengenai permintaan maaf, memunculkan dugaan kuat Menlu Marty Natalegawa telah melakukan kebohongan.

Hal ini mengundang reaksi keras dari kalangan DPR, termasuk dari Aboe Bakar anggota Komisi Hukum.

“Bila benar bohong, secara etis sebaiknya Menlu mengundurkan diri. Namun secara yuridis sebaiknya teman-teman LSM melaporkan kebohongan publik ini kepada aparat hukum, supaya menjadi pembelajaran bagi pejabat lain agar tidak senang membohongi rakyat”, papar legislator PKS tersebut dalam siaran persnya Minggu (25/6).

Aboe melihat persoalan ini membuktikan rendahnya moralitas dan integritas pejabat publik, bila memang telah terjadi kebohongan atas persoalan TKI ini.

“Saya lihat pidato para pejabat bersama presiden kemarin lebih bernuasan ABS (Asal Bapak Senang), mungkin secara psikologis takut kena reshuffle. Memang masih perlu dibuktikan, siapakah yang sebenarnya berbohong, Menlu atau Dubes?”, tegas Aboe mendudukan persoalan.

Menurut Aboe bila terjadi kekurangan pada kinerja kementerian yang dipimpin, para menteri seharusnya meningkatkan kinerja bukan menutupi dengan kebohongan.

Dia meyakini bahwa Presiden SBY sangat memahami performa kabinetnya, namun sayangnya pemerintah selalu memposisikan diri sebagai pihak yang didholimi.

“Saya menyayangkan respon presiden yang cenderung terlambat, namun yang lebih disayangkan presiden masih menuduh ada pihak yang menggoreng isu ini. Padahal kenyataannya memang kinerja pemerintah dalam menangani persoalan TKI sangat memble”, pungkasnya.

PKS: Laporkan Menteri Marty Natalegawa ke Polisi


RMOL. Diduga kuat Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa membohongi publik. Pasalnya, Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia membantah pernyataan Marty dan menegaskan pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak pernah meminta maaf atas pemancungan Ruyati binti Satubi.

"Bila benar bohong, secara etis sebaiknya Marty mengundurkan diri. Namun secara yuridis, teman-teman LSM dapat melaporkan kebohongan publik ini kepada aparat hukum (polisi), supaya menjadi pembelajaran bagi pejabat lain agar tidak senang membohongi rakyat," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Sabtu, 25/6).

Bila benar Marty membohongi publik, Aboe menilai hal ini menjadi bukti penguat betapa moralitas dan integritas pejabat publik sangat rendah.

"Saya lihat pidato para pejabat bersama Presiden SBY kemarin lebih bernuansa asal bapak senang (ABS). Mungkin secara psikologis takut kena reshuffle. Memang masih perlu dibuktikan, siapakah yang sebenarnya berbohong, Menlu atau Dubes," tegas Aboe mendudukkan persoalan.

Menurut Aboe, bila kinerja kementerian masih minim seharusnya para menteri segera memaksimalkan kinerjanya, bukan malah menutupi dengan kebohongan.

"Saya juga menyayangkan respon presiden yang cenderung terlambat, namun yang lebih disayangkan Presiden masih menuduh ada pihak yang menggoreng isu ini. Padahal kenyataannya memang kinerja pemerintah dalam menangani persoalan TKI sangat memble," demikian Aboe. [yan]

Kamis, 23 Juni 2011

Kemenlu Harus Serius

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad B Sampurno, mendesak Kementerian Luar Negeri harus benar-benar serius menjalankan fungsi diplomasi terkait kasus-kasus menimpa warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Kasus eksekusi mati TKI Ruyati Binti Satubi oleh kerajaan Arab Saudi pada Sabtu (18/6), ujarnya di Gedung DPR Jakarta, Rabu, merupakan tamparan keras kegagalan diplomasi pemerintah Indonesia dalam melindungi TKI yang sedang terjerat hukum.

"Kemlu harus benar-benar serius dalam menjalan fungsi diplomasi terkait kasus-kasus menimpa WNI di luar negeri," ujarnya.

Menurut dia, pada masa mendatang harus dipertegas sikap dan langkah nyata pemerintah dalam menangani masalah TKI.

Di antaranya sesegera mungkin mendata dan melakukan advokasi kepada TKI yang terjerat pidana di luar negeri serta evaluasi kinerja KBRI di Arab Saudi, khususnya Konsulat Jenderal RI di Jeddah.

"Kalau memang ada kelalaian dalam memberikan perlindungan terhadap WNI di sana, maka perlu diberikan sanksi tegas. Ke depan hasil evaluasi ini dapat mencegah terjadinya hal-hal seperti ini terulang lagi," ujarnya.

Politisi PKS itu juga mengingatkan kasus di depan mata yang menimpa TKI bernama Darsem binti Daut, yang dituntut diyat (denda) sebesar Rp4,7 miliar. Menurut dia, dalam rapat kerja Komisi I DPR RI dan Kemenlu yang lalu (20/6), pemerintah mengusulkan membayar diyat tersebut.

Terkait hal tersebut, Syahfan mendorong langkah yang tepat dan cepat Kemlu dalam mengalokasi dana untuk membayar diyat tersebut.

Di tempat terpisah, anggota Komisi III dari FPKS, Aboe Bakar, menyatakan pemerintah gagal melakukan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja di luar negeri. Dia mengganggap pemerintah kecolongan, sehingga tidak tahu ada salah satu warganya yang dipancung.

Ironisnya pula, kasus Ruyati ini mencuat beberapa saat setelah Presiden Yudhoyono memberikan pidato di depan Organisasi Buruh Dunia, ILO.

"Pemerintah tahu Ruyati disidangkan, namun tidak memberikan bantuan hukum, mereka hanya mengirim penerjemah dan pegawai kedutaan saja. Pasca vonispun tidak ada perhatian terhadap kasus ini, tahu-tahu
saudara kita sudah dipancung," ujarnya.

Aboe mempertanyakan kapasitas dan kompetensi duta besar yang diangkat pemerintah dan ia pun meragukan mekanisme rekrutmen duta besar tersebut.

"Mengirim duta besar seharusnya menggunakan standar baku. Mereka harus pahami hukum negara setempat. Jangan jadikan duta besar sebagai hadiah untuk pensiunan ataupun sebagai posisi buangan. Bila Dubes tidak punya kepedulian terhadap TKI atau tidak pahami hukum negara setempat, beginilah hasilnya," ujarnya. (D011)

Kasus Ruhyati Tamparan Keras bagi SBY

Jakarta, CyberNews. Kasus Ruhiyati sepertinya tidak hanya menjadi tamparan bagi Presiden dan Pemerintah, namun juga membuat gerah komisi hukum DPR RI. Aboe Bakar menilai pemerintah gagal melakukan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja di luar negeri. Pemerintah dianggap kecolongan, sehingga tidak tahu ada salah satu warganya yang dipancung.

“Pemerintah tahu Ruhiyati disidangkan, namun tidak memberikan bantuan hukum, mereka hanya mengirim penerjemah dan pegawai kedutaan saja. Pasca vonispun tidak ada perhatian terhadap kasus ini, tahu-tahu saudara kita sudah dipancung” ungkap anggota Komisi III DPR RI ini melalui rilisnya kepada CyberNews, Selasa (21/6).

Ironisnya pula, Kasus Ruyati mencuat beberapa saat setelah Presiden SBY memberikan pidato di depan Organisasi Buruh Dunia, ILO. Aboe menyayangkan kapasitas duta besar yang diangkat pemerintah dan mempertanyakan kompetensi mereka. Legislator dari PKS ini meragukan mekanisme rekrutmen duta besar, sehingga kapasitas yang dihasilkan memble.

“Mengirim dubes seharusnya menggunakan standart baku, mereka harus pahami hukum negara setempat. Jangan jadikan duta besar sebagai hadiah untuk pensiunan ataupun sebagai posisi buangan. Bila Dubes tidak punya kepedulian terhadap TKI atau tidak pahami hukum Negara setempat, beginilah hasilnya," ujar legislator dari dapil Kalsel tersebut.

Dengan nada kesal, Aboe membandingkan kinerja Pemerintah dengan Australia. “Coba tengok Australia, karena sapi saja dia bisa mendikte Indonesia. Nah sekarang Indonesia, masih gagap memberikan perlindungan pada TKI," tandas aboe.

PKS: Jangan-jangan Kursi Dubes RI di Saudi Hadiah Pensiun


RMOL. Pemerintah tidak bisa menyangkal atau mencari-cari alasan. Terbukti di depan mata, pemerintah benar-benar kecolongan dan gagal melindungi warga negaranya sendiri.

"Pemerintah tahu Ruyati disidangkan, namun tidak memberikan bantuan hukum. Mereka hanya mengirim penerjemah dan pegawai kedutaan saja. Pasca vonispun tidak ada perhatian terhadap kasus ini, tahu-tahu saudara kita sudah dipancung," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Rabu, 22/3).

Lebih ironis, kata Aboe Bakar, kepala Ruyati dipenggal beberapa hari setelah Presiden SBY berpidato di depan Organisasi Buruh Dunia, ILO.

Aboe juga menyayangkan Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Aboe pun meragukan mekanisme rekrutmen duta besar sehingga kapasitas yang dihasilkan memble.

"Mengirim Dubes seharusnya menggunakan standar baku, mereka harus pahami hukum negara setempat. Jangan-jangan posisi duta besar sebagai hadiah untuk pensiunan ataupun sebagai posisi buangan. Bila Dubes tidak punya kepedulian terhadap TKI atau tidak pahami hukum negara setempat, beginilah hasilnya," sesal Aboe.

Dengan nada kesal, Aboe membandingkan kinerja Pemerintah dengan Australia.

"Coba tengok Australia, karena sapi saja dia bisa dikte kita, nah sekarang kita, masih gagap memberikan perlindungan pada TKI kita," demikian Aboe. [yan]

Anggota DPR: Kemenlu Harus Serius!

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad B Sampurno, mendesak Kementerian Luar Negeri harus benar-benar serius menjalankan fungsi diplomasi terkait kasus-kasus menimpa warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Kasus eksekusi mati TKI Ruyati Binti Satubi oleh kerajaan Arab Saudi pada Sabtu (18/6), ujarnya di Gedung DPR Jakarta, Rabu (22/6), merupakan tamparan keras kegagalan diplomasi pemerintah Indonesia dalam melindungi TKI yang sedang terjerat hukum.

"Kemlu harus benar-benar serius dalam menjalan fungsi diplomasi terkait kasus-kasus menimpa WNI di luar negeri," ujarnya. Menurut dia, pada masa mendatang harus dipertegas sikap dan langkah nyata pemerintah dalam menangani masalah TKI.

Di antaranya sesegera mungkin mendata dan melakukan advokasi kepada TKI yang terjerat pidana di luar negeri serta evaluasi kinerja KBRI di Arab Saudi, khususnya Konsulat Jenderal RI di Jeddah.

"Kalau memang ada kelalaian dalam memberikan perlindungan terhadap WNI di sana, maka perlu diberikan sanksi tegas. Ke depan hasil evaluasi ini dapat mencegah terjadinya hal-hal seperti ini terulang lagi," ujarnya.

Politisi PKS itu juga mengingatkan kasus di depan mata yang menimpa TKI bernama Darsem binti Daut, yang dituntut diyat (denda) sebesar Rp4,7 miliar. Menurut dia, dalam rapat kerja Komisi I DPR RI dan Kemenlu yang lalu (20/6), pemerintah mengusulkan membayar diyat tersebut.

Terkait hal tersebut, Syahfan mendorong langkah yang tepat dan cepat Kemlu dalam mengalokasi dana untuk membayar diyat tersebut.

Di tempat terpisah, anggota Komisi III dari FPKS, Aboe Bakar, menyatakan pemerintah gagal melakukan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja di luar negeri. Dia mengganggap pemerintah kecolongan, sehingga tidak tahu ada salah satu warganya yang dipancung.

Ironisnya pula, kasus Ruyati ini mencuat beberapa saat setelah Presiden Yudhoyono memberikan pidato di depan Organisasi Buruh Dunia, ILO.

"Pemerintah tahu Ruyati disidangkan, namun tidak memberikan bantuan hukum, mereka hanya mengirim penerjemah dan pegawai kedutaan saja. Pasca vonispun tidak ada perhatian terhadap kasus ini, tahu-tahu saudara kita sudah dipancung," ujarnya.

Aboe mempertanyakan kapasitas dan kompetensi duta besar yang diangkat pemerintah dan ia pun meragukan mekanisme rekrutmen duta besar tersebut.

"Mengirim duta besar seharusnya menggunakan standar baku. Mereka harus pahami hukum negara setempat. Jangan jadikan duta besar sebagai hadiah untuk pensiunan ataupun sebagai posisi buangan. Bila Dubes tidak punya kepedulian terhadap TKI atau tidak pahami hukum negara setempat, beginilah hasilnya," ujarnya.

Senin, 20 Juni 2011

DPR Hormati Putusan MK Soal Busyro


INILAH.COM, Jakarta - Kalangan Komisi III DPR menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan masa jabatan Busyro Muqoddas di KPK selama empat tahun.

"Itu kewenangan konstitusional MK, maka kita hormati keputusannya. DPR yang telah melegislasi kewenangan MK tersebut, maka kita patuhi konstitusi," ujar anggota Komisi III DPR Boe Bakar Al-Habsyi kepada INILAH.COM, Senin (20/6/2011).

Menurut politisi PKS ini, Busyro harus memaksimalkan keputusan MK tersebut untuk membuktikan bahwa KPK bukanlah alat penguasa untuk membunuh lawan politik.

"Saya yakin Pak Busyro putra terbaik bangsa yang layaknya memimpin KPK. Harapan saya kesempatan ini akan digunakan Busyro untuk menunjukkan kompetensi dan integritasnya. Sehingga bisa mematahkan anggapan bahwa KPK adalah alat politik," tegasnya.

Seperti diberitakan, MK memutuskan masa jabatan Busyro Muqoddas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama empat tahun.

"Menyatakan Pasal 34 UU KPK bertentangan dengan UUD 45 sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan KPK baik yang diangkat secara bersamaan ataupun pengganti Pimpinan yang berhenti, memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali selama satu kali masa jabatan," tutur Ketua MK Mahfud MD, Senin (20/6/2011).

MK menyatakan, dalam Pasal 34 UU KPK sudah diatur secara jelas masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun. Jika masa jabatan Busyro hanya satu tahun maka menimbulkan ketidakadilan.

Putusan MK itu tertuang dalam No:005/UUP-IX/VI/2011 tentang masa jabatan pimpinan KPK yang digelar dalam sidang di MK, Senin (20/6/2011). ICW bersama LSM lainnya mengajukan uji materi pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terkait masa jabatan Busyro Muqoddas. [mah]

Seleksi Pimpinan KPK: Bambang Widjojanto, Go!

INILAH.COM, Jakarta - Majunya Bambang Widjojanto sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disambut baik kalangan Komisi III DPR.

Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al-Habsy menilai Bambang adalah orang yang tepat memimpin KPK. Sebab Bambang memiliki integritas yang tidak diragukan lagi.

"Kita sambut gembira ada orang yang pribadi dan karakternya seperti Bambang ikut dalam pencalonan pimpinan KPK," ujarnya kepada INILAH.COM, Senin (20/6/2011).

Menurut politisi PKS ini, majunya Bambang memberi secercah harapan akan masa depan pemberantasan korupsi di republik ini. Bambang diyakini mampu membangkitkan perjuangan pemberantasan korupsi. "Akan ada secercah harapan cahaya perubahan yang siginifikan dari Bambang, Insya Allah," tegas Aboe.

Seperti diberitakan, Bambang Widjojanto dipastikan kembali daftar jadi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2012-2016. Hari ini, Senin (20/6/2011), Bambang mendatangi Panitia Seleksi (Pansel) di kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Bambang pernah menjadi salah satu kandidat kuat calon pimpinan KPK menggantikan Antasari Azhar. Namun saat voting di DPR, Bambang dikalahkan oleh Busyro Muqoddas.

Setelah gagal, Bambang sempat ditawarkan oleh Presiden SBY untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi Kejaksaan. Namun Bambang menolak tegas tawaran itu. [mah]

Kapolri: Kepolisian masih menyelidiki kasus Andi Nurpati

JAKARTA. Kapolri, Timur Pradopo, menjelaskan jika saat ini kepolisian masih melakukan penyelidikan tentang adanya dugaan pemalsuan dokumen keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh mantan komisioner KPU, Andi Nurpati.

"Sampai saat ini Bareskrim masih melakukan penyelidikan untuk mengungkapkan apakah benar tindak pidana pemalsuan surat MK tersebut," ujar Timur ketika rapat dengan Komisi III, Senin (13/6).

Menurut Timur, penyelidikan difokuskan pada pencarian dokumen asli. Yaitu, lanjutnya, keputusan MK no 112 tanggal 17 Agustus 2009. Surat asli MK itu berisi penetapan Mestariyani Habie dari Gerindara sebagai pemilik kursi DPR dari Dapil I Sulsel.

Tak hanya itu, Timur pun berjanji jika pihaknya masih akan mencari keterangan dari seluruh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu dilakukan guna mencari kejelasan surat MK.

"Nanti akan digelar perkara yang juga akan dihadiri oleh ahli untuk tanyakan pendapatnya," tutup Timur.

Mendengar penjelasan Timur, anggota Komisi III Aboe Bakar pun berkomentar. Ia mempertanyakan dengan tegas status Andi Nurpati dalam kasus itu. Bukan itu saja, Aboe menganggap Kepolisian lamban.

"MK kan bicara soal surat palsu itu sudah lama. Bagaimana posisi dia. Misbakhun saja cepat. Kenapa Andi lama? Saya pikir ini perlu jadi perhatian," tegas Aboe.

Sekadar mengingatkan, sebelumnya, Ketua MK Mahfud MD melaporkan Andi Nurpati ke polisi pada Februari 2010. Andi Nurpati diduga memalsukan surat MK untuk meloloskan caleg partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, ke DPR. Padahal, surat asli MK menyebutkan cales partai Gerindra, Mestariyani Habie yang berhak duduk di kursi Senayan. Namun, pada akhirnya Mestariyani berhasil lolos ke karena MK mengetahui pemalsuan itu.

Komisi III: Polri Jangan Main-Main

Kasus Andi Nurpati, Kapolri Janji Memproses

JAKARTA–Wakil Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin menyesalkan lambannya Polri menindaklanjuti laporan pemalsuan surat Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa Pemilu 2009 yang melibatkan mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati. “Kami berharap, kepolisian serius dalam menindak lanjuti kasus ini,” kata Azis saat memimpin rapat kerja Komisi III DPR dengan kepolisian RI di Jakarta, Senin (13/6). Menurut Azis, keseriusan kepolisian dalam menanggapi kasus pemalsuan keputusan MK itu bisa menjadi tolok ukur kinerja kepolisian dalam menangani isu-isu sensitif. “Bagi kami, keseriusan polisi akan menjadi dasar saat membahas usulan anggaran kepolisian nanti.” Azis menegaskan, Komisi III DPR memberikan perhatian serius kasus pemalsuan putusan MK dalam sengketa pemilu untuk daerah pemilihan Sulawesi Selatan itu. Komisi III DPR, lanjut Azis sudah melapor dan mengkonfirmasikan masalah ini ke MK. “MK juga sudah melaporkan kasus ini kepada Komisi III DPR, dan mendesak agar Komisi III ikut mendorong kepolisian RI serius menangani kasus tersebut.

Jadi, kepolisian tidak bisa main-main lagi,” katanya. “Pihak MK sudah menyatakan surat itu palsu, silahkan Polri cek kebenarannya itu kepada saksisaksi MK secara objektif dan transparan. Jangan berhenti saja seperti sekarang ini,” kata Azis. Menurut Azis, Kepolisian seharusnya sudah mendapatkan hasil yang signifikan apabila memang serius menyelidiki kasus itu sejak 2010.Di dalam rapat kerja dengan Polri tersebut, sejumlah anggota Komisi III memang mempertanyakan alasan kepolisian belum menyelidiki kasus tersebut padahal sudah dilaporkan sejak tahun 2010. Kapolri Jenderal Timur Pradopo pada kesempatan yang sama menegaskan komitmennya untuk memproses perkara pemalsuan surat MK sebagaimana dituduhkan. Menurut Timur, kendala utama kasus ini adalah belum adanya pihak yang secara resmi melapor. Namun meski demikian berbekal data awal yang ada Polri bakal tetap mengumpulkan buktibukti dan saksi. ’’Kita tetap akan cari surat yang asli, yakni surat Nomor 112 tanggal 14 Agustus 2009. Dalam surat tersebut ada pemalsuan yang dikirim melalui faksimili. Jadi isi surat tersebut beda,,” kata Timur Pradopo saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III di gedung DPR, kemarin (13/6).

Dia menjelaskan, dugaan kasus pemalsuan dokumen negara yang diduga dilakukan oleh mantan anggota KPU yang kini telah bergabung ke Partai Demokrat tersebut memang baru dilaporkan secara resmi oleh Ketua MK Mahfud MD kepada Polri beberapa pekan lalu. Sebelumnya, sejak kasus tersebut diduga terjadi pada awal 2010, belum ada seorangpun yang secara resmi melapor. Inilah yang membuat tim penyelidik Polri kesulitan bergerak. Menurut Timur, pada Februari 2010 seorang Panitera MK bernama Zainal Arifin Husen pernah menyerahkan ke Polri surat MK bernomor 028/2010 tertanggal 12 Februari 2010. Namun saat itu Zainal tidak membuat laporan resmi ke polisi. ‘’Saat itu yang bersangkutan berjanji akan datang kembali 15 Februari 2010 untuk membuat laporan polisi. Tapi hingga saat ini belum ada laporan itu,” terangnya. Menurut Timur, meski belum sempat dibuatkan laporan polisi, surat MK bernomor 028/2010 yang diserahkan oleh Zainal sebagai bukti awal masih disimpan rapi oleh petugas piket Bareskrim. Inilah yang nanti akan menjadi titik tolak gelar perkara dugaan kasus Andi Nurpati dilakukan.

Di samping mengumpulkan bukti-bukti baru, hal yang segera dilakukan dalam waktu dekat, ungkapnya, adalah dengan mengundang sejumlah ahli dan saksi terkait. Termasuk di dalamnya akan memanggil pihak KPU dan Bawaslu. “Kami juga masih akan melakukan pencarian keterangan baik dari orang-orang MK, KPU dan pihak-pihak lain yang diperlukan untuk mengungkap adanya dugaan pemalsuan dokumen ini,” tegasnya. Dalam RDP kemarin, anggota Komisi III Aboe Bakar Al Habsy sempat melontarkan kritik tajam kepada Kapolri terkait dugaan kasus Andi Nurpati ini, Dia menilai meski tanpa dilengkapi laporan resmi, semestinya sejak surat dari MK diterima oleh Polri, kepolisian sudah bisa melakukan langkah-langkah. Menurut Aboe Bakar, faktanya yang terjadi sebaliknya. Hingga lebih 1 tahun Polri seolah diam saja hingga kasus ini kembali menguat di media. “Kasus itu sudah lama tapi Polri lamban menindaklanjutinya. Tapi kalau presiden curhat, Polri cepat bertindak,” tuturnya. (did/awa-jpnn)

PKS Desak Polisi Tuntaskan Kasus Andi Nurpati

JAKARTA- Anggota Komisi III DPR RI fraksi PKS, Habib Aboe Bakar Al Habsyie, mengingatkan kepolisian agar menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum dengan baik dan bukan terkesan menjadi alat pemerintah.

"Kalau laporan MK itu lama ditanggapi, tapi kalau presiden berkeluh kesah polisi cepat polisi menanggapinya," kata Aboe Bakar, saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Kapolri, di Senayan, Senin (13/6).

Dia menyesalkan karena polisi lamban menanggapi laporan dugaan pemalsuan surat MK, terkait hasil pemilu 2009 yang dilakukan oleh mantan anggota KPU, Andi Nurpati. "Laporan itu sudah lama, tapi baru-baru sekarang ini ditanggapi polisi," ungkap Abu Bakar.

Dia berharap, Polri segera menindaklanjuti kasus Andi Nurpati ini. "Kalau tidak rusak di DPR ini, ada kursi-kursi tidak jelas. Saya pikir tidak perlu lama-lama. Ini perlu menjadi perhatian, agar jangan terkesan polisi sebagai alat penguasa," kata Abubakar.

Kapolri Jendral Timur Pradopo sebelumnya dalam raker tersebut menjelaskan, bahwa kepolisian sampai saat ini masih terus melakukan penyelidikan laporan Ketua MK tersebut. "Kita masih lakukan penyelidikan," ungkap Timur.

Dia menegaskan, kepolisian masih terus mencari keterangan baik dari pihak MK, KPU, maupun Bawaslu. "Ini semua untuk mengungkap tindak pidananya," kata Kapolri.

Timur Pradopo menambahkan kepolisian segera menggelar perkara kasus tersebut.

Andi Nurpati dilaporkan polisi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD terkait dokumen palsu soal putusan sengketa Pemilu yang dikeluarkan MK pada 2009 lalu. Andi diduga memalsukan surat MK.

Andi diduga merekayasa surat yang memenangkan Dewi Yasin Limpo, politikus Partai Hanura. Padahal sebenarnya MK 'memenangkan' Mestariyani Habie, politikus Partai Gerakan Indonesia Raya. (boy/jpnn)

Politisi PKS Cecar Kapolri Soal Andi Nurpati


INILAH.COM, Jakarta - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al-Habsyi meminta Polri tak tebang pilih dalam mengusut kasus Andi Nurpati yang dilaporkan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud MD.

"Ini ada apa Kepolisian kok sampai sekarang tak jelas apakah sudah menyelidiki kasus ini apa belum," kata Aboe Bakar dalam rapat kerja (Raker) dengan Kapolri di Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/6/2011)..

Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun tak mampu memberi jawaban yang memuaskan terkait penanganan kasus tersebut. Dalam Raker, Timur menyatakan pihaknya masih terus menyelidiki kasus pemalsuan tersebut. "Untuk mengungkap apakah benar tindak pidana pemalsuan surat MK tersebut."

Timur juga menjelaskan pihaknya masih mencari keterangan dan sejumlah bukti surat yang terkait kasus tersebut. Dia mencoba meyakinkan bahwa Polri serius menangani kasus tersebut dengan menyatakan beberapa langkah sudah disiapkan hingga termasuk gelar perkara kasus. [mah

Jumat, 10 Juni 2011

Penanganan Kasus Korupsi Kepala Daerah Lambat, Komisi III DPR Berang!


BANJARMASIN, RIMANEWS - Anggota Komisi III DPR RI, Habib Aboe Bakar Al Habsy mendesak pihak Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menuntaskan kasus-kasus korupsi kepala daerah yang hingga kini terus menggantung. Lambannya penanganan kasus korupsi kepala daerah ini dinilai dapat menggangu roda pemerintahan.

"Logikanya, jika seorang kepala daerah bermasalah hukum atau berstatus tersangka, dapat dipastikan kinerja dan roda pemerintahan di daerah terganggu," tutur di Banjarmasin, Senin (6/6).

Menurutnya, Komisi III DPR RI telah bertemu dengan Jaksa Agung mempertanyakan masalah penanganan kasus korupsi sejumlah kepala daerah yang saat ini sedang ditangani.

"Di Kalimantan sejauh ini ada sejumlah kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan kini berstatus tersangka, seperti Gubernur Kalsel dan Kaltim," ucapnya.

Habib mengatakan, Kejaksaan Agung seharusnya segera menuntaskan status hukum Rudy Ariffin yang kini menjabat Gubernur Kalsel.

Kondisi ini selain akan berdampak pada mentalitas dan  kinerja Rudy sebagai gubernur juga dikhawatirkan memberikan peluang dimanfaatkan oknum-oknum tertentu, sebagai objek pemerasan.

Gubernur Kalsel, Rudy Ariffin, kini berstatus tersangka dalam Kasus korupsi proyek pembebasan lahan eks pabrik kertas martapura, Kabupaten Banjar.

Kasus ini terjadi saat dirinya masih menjabat Bupati Banjar, periode 2000-2005. Rudy dianggap bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp6,4 miliar karena posisinya waktu itu selaku Bupati Banjar sekaligus ketua tim pembebasan lahan Parik Kertas Martapura.(ian/MI)

Komisi III DPR Desak Penuntasan Kasus Korupsi Kepala Daerah


BANJARMASIN--MICOM: Pihak Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera menuntaskan kasus-kasus korupsi kepala daerah yang hingga kini terus menggantung.

Lambannya penanganan kasus korupsi kepala daerah ini dinilai dapat menggangu roda pemerintahan.

"Logikanya, jika seorang kepala daerah bermasalah hukum atau berstatus tersangka, dapat dipastikan kinerja dan roda pemerintahan di daerah terganggu," tutur Anggota Komisi III DPR RI, Habib Aboe Bakar Al Habsy, di Banjarmasin, Senin (6/6).

Menurutnya, Komisi III DPR RI telah bertemu dengan Jaksa Agung mempertanyakan masalah penanganan kasus korupsi sejumlah kepala daerah yang saat ini sedang ditangani.

"Di Kalimantan sejauh ini ada sejumlah kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan kini berstatus tersangka, seperti Gubernur Kalsel dan Kaltim," ucapnya.

Habib mengatakan, Kejaksaan Agung seharusnya segera menuntaskan status hukum Rudy Ariffin yang kini menjabat Gubernur Kalsel.

Kondisi ini selain akan berdampak pada mentalitas dan  kinerja Rudy sebagai gubernur juga dikhawatirkan memberikan peluang dimanfaatkan oknum-oknum tertentu, sebagai objek pemerasan.

Gubernur Kalsel, Rudy Ariffin, kini berstatus tersangka dalam Kasus korupsi proyek pembebasan lahan eks pabrik kertas martapura, Kabupaten Banjar.

Kasus ini terjadi saat dirinya masih menjabat Bupati Banjar, periode 2000-2005. Rudy dianggap bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp6,4 miliar karena posisinya waktu itu selaku Bupati Banjar sekaligus ketua tim pembebasan lahan Parik Kertas Martapura (PKM). (OL-12)

Minggu, 05 Juni 2011

Komisi Yudisial akan diberi kewenangan menyadap

JAKARTA (Arrahmah.com) - Kasus tertangkap basahnya Hakim Syafiruddin oleh KPK saat sedang menerima suap mendorong Komisi III DPR RI memberi kewenangan penyadapan kepada Komisi Yudisial, hal tersebut diungkapkan anggota Komisi III DPR RI yang membidangi hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar.

“Terungkapnya kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu model pengawasan yang terbukti efektif adalah dengan melakukan penyadapan,” tegasnya di Jakarta, Sabtu (4/6/2011) malam.

Penangkapan Hakim Syafiruddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah melalui proses penyadapan tersebut, memang menambah daftar hitam penegak hukum di Indonesia, namun Aboe Bakar menambahkan, cara penyadapan tersebut akan efektif untuk mengurangi `mafia hukum` di Indonesia.

“Ini bukti penyadapan cukup efektif kan. Saya kira Komisi Yudisial (KY) harus diperkuat dengan kewenangan tersebut, Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang Undang (RUU) KY di DPR RI sudah membahas kewenangan ini” papar Aboe Bakar yang juga Anggota Panja RUU KY tersebut.

“Banyak pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KY ini. Saya berharap, semua dapat mendukung penguatan kewenangan KY tersebut. Dan seharusnya, MA juga mendukungnya, agar rakyat meyakini, bahwa mereka memiliki komitmenmenyelenggarakan Peradilan yang bersih,” tandasnya.

Aboe Bakar mengungkapkan, penambahan kewenangan tersebut, diyakini akan membawa diskursus di berbagai kalangan.Tetapi, itu hal yang biasa ketika akan ada perubahan.

Ia juga mengataka, ketika KPK akan diberikan kewenangan, banyak pihak yang tidak sepakat. Namun setelah melihat hasilnya sekarang, banyak yang mendukung. Terlebih lagi, kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KY merupakan bentuk upaya dalam membersihkan Peradilan di Indonesia.

Semoga saja kewenangan menyadap ini tidak diselewengkan dalam pelaksanaannya, seperti banyaknya aturan hukum di Indonesia yang diselesengkan oleh para penegak sekaligus pembuatnya. (ans/rasularasy/arrahmah.com)

Beri KY Kewenangan Menyadap

Aboe Bakar:
Beri KY Kewenangan Menyadap

Jakarta, 5 Juni 2011 08:48
Anggota Komisi III DPR RI dari PKS, Aboe Bakar mengatakan, KY seharusnya diberi kewenangan penyadapan, setelah terungkap kasus hakim S, saat menerima suap.

"Terungkapnya kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu model pengawasan yang terbukti efektif adalah dengan melakukan penyadapan," tegasnya di Jakarta, Sabtu malam (4/6).

Penangkapan Hakim Syafiruddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah melalui proses penyadapan tersebut, menurutnya, memang telah menambah daftar hitam "wakil Tuhan di muka bumi" tersebut.

Namun Aboe Bakar menambahkan, cara ini (penyadapan) akan efektif untuk mengurangi `mafia hukum` di Indonesia.

"Ini bukti penyadapan cukup efektif kan. Saya kira Komisi Yudisial (KY) harus diperkuat dengan kewenangan tersebut," tegasnya.

Ia mengungkapkan, Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang Undang (RUU) KY di DPR RI sudah membahas kewenangan ini.

"Pada pertemuan anggota lain, saya kira akan lebih yakin untuk memberikan kewenangan menyadap bagi KY," papar Aboe Bakar yang juga Anggota Panja RUU KY tersebut.

Ia berharap, pihak MA akan mendukung kewenangan tersebut, sehingga dapat mewujudkan sebuah Peradilan yang bersih di Indonesia.

"Banyak pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KY ini. Saya berharap, semua dapat mendukung penguatan kewenangan KY tersebut. Dan seharusnya, MA juga mendukungnya, agar rakyat meyakini, bahwa mereka memiliki komitmenmenyelenggarakan Peradilan yang bersih," tandasnya.

Baginya, penambahan kewenangan tersebut, diyakini akan membawa diskursus di berbagai kalangan.

Tetapi, menurutnya, itu hal yang biasa ketika akan ada perubahan.

"Ketika KPK akan diberikan kewenangan, banyak pihak yang juga tidak sepakat. Namun setelah melihat hasilnya sekarang, banyak yang mendukung," ungkapnya.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KY, lanjut Aboe Bakar, merupakan ikhtiar untuk membersihkan Peradilan di Indonesia. [TMA, Ant]

Beri KY Kewenangan Menyadap

Aboe Bakar:
Beri KY Kewenangan Menyadap

Jakarta, 5 Juni 2011 08:48
Anggota Komisi III DPR RI dari PKS, Aboe Bakar mengatakan, KY seharusnya diberi kewenangan penyadapan, setelah terungkap kasus hakim S, saat menerima suap.

"Terungkapnya kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu model pengawasan yang terbukti efektif adalah dengan melakukan penyadapan," tegasnya di Jakarta, Sabtu malam (4/6).

Penangkapan Hakim Syafiruddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah melalui proses penyadapan tersebut, menurutnya, memang telah menambah daftar hitam "wakil Tuhan di muka bumi" tersebut.

Namun Aboe Bakar menambahkan, cara ini (penyadapan) akan efektif untuk mengurangi `mafia hukum` di Indonesia.

"Ini bukti penyadapan cukup efektif kan. Saya kira Komisi Yudisial (KY) harus diperkuat dengan kewenangan tersebut," tegasnya.

Ia mengungkapkan, Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang Undang (RUU) KY di DPR RI sudah membahas kewenangan ini.

"Pada pertemuan anggota lain, saya kira akan lebih yakin untuk memberikan kewenangan menyadap bagi KY," papar Aboe Bakar yang juga Anggota Panja RUU KY tersebut.

Ia berharap, pihak MA akan mendukung kewenangan tersebut, sehingga dapat mewujudkan sebuah Peradilan yang bersih di Indonesia.

"Banyak pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KY ini. Saya berharap, semua dapat mendukung penguatan kewenangan KY tersebut. Dan seharusnya, MA juga mendukungnya, agar rakyat meyakini, bahwa mereka memiliki komitmenmenyelenggarakan Peradilan yang bersih," tandasnya.

Baginya, penambahan kewenangan tersebut, diyakini akan membawa diskursus di berbagai kalangan.

Tetapi, menurutnya, itu hal yang biasa ketika akan ada perubahan.

"Ketika KPK akan diberikan kewenangan, banyak pihak yang juga tidak sepakat. Namun setelah melihat hasilnya sekarang, banyak yang mendukung," ungkapnya.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KY, lanjut Aboe Bakar, merupakan ikhtiar untuk membersihkan Peradilan di Indonesia. [TMA, Ant]

KY Harus Diberi Kewenangan Menyadap

KY Harus Diberi Kewenangan Menyadap
Berita - Hukum
Sunday, 05 June 2011 10:30


Jakarta, SitinjauNews - Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar mengatakan, kasus tertangkap tangannya Hakim `S` oleh KPK saat sedang menerima suap mendorong pihaknya memberi kewenangan penyadapan kepada Komisi Yudisial.

"Terungkapnya kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu model pengawasan yang terbukti efektif adalah dengan melakukan penyadapan," tegasnya di Jakarta, Sabtu malam.

Penangkapan Hakim Syafiruddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah melalui proses penyadapan tersebut, menurutnya, memang telah menambah daftar hitam "wakil Tuhan di muka bumi" tersebut.

Namun Aboe Bakar menambahkan, cara ini (penyadapan) akan efektif untuk mengurangi `mafia hukum` di Indonesia.

"Ini bukti penyadapan cukup efektif kan. Saya kira Komisi Yudisial (KY) harus diperkuat dengan kewenangan tersebut," tegasnya.

Ia mengungkapkan, Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang Undang (RUU) KY di DPR RI sudah membahas kewenangan ini.

"Pada pertemuan anggota lain, saya kira akan lebih yakin untuk memberikan kewenangan menyadap bagi KY," papar Aboe Bakar yang juga Anggota Panja RUU KY tersebut.

Ia berharap, pihak MA akan mendukung kewenangan tersebut, sehingga dapat mewujudkan sebuah Peradilan yang bersih di Indonesia.

"Banyak pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KY ini. Saya berharap, semua dapat mendukung penguatan kewenangan KY tersebut. Dan seharusnya, MA juga mendukungnya, agar rakyat meyakini, bahwa mereka memiliki komitmenmenyelenggarakan Peradilan yang bersih," tandasnya.

Baginya, penambahan kewenangan tersebut, diyakini akan membawa diskursus di berbagai kalangan.

Tetapi, menurutnya, itu hal yang biasa ketika akan ada perubahan.

"Ketika KPK akan diberikan kewenangan, banyak pihak yang juga tidak sepakat. Namun setelah melihat hasilnya sekarang, banyak yang mendukung," ungkapnya.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KY, lanjut Aboe Bakar, merupakan ikhtiar untuk membersihkan Peradilan di Indonesia.(*)

Aboe Bakar: KY Harus Diberi Kewenangan Menyadap

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar mengatakan, kasus tertangkap tangannya Hakim `S` oleh KPK saat sedang menerima suap mendorong pihaknya memberi kewenangan penyadapan kepada Komisi Yudisial.

"Terungkapnya kasus ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu model pengawasan yang terbukti efektif adalah dengan melakukan penyadapan," tegasnya kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu malam.

Penangkapan Hakim Syafiruddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah melalui proses penyadapan tersebut, menurutnya, memang telah menambah daftar hitam "wakil Tuhan di muka bumi" tersebut.

Namun Aboe Bakar menambahkan, cara ini (penyadapan) akan efektif untuk mengurangi `mafia hukum` di Indonesia.

"Ini bukti penyadapan cukup efektif kan. Saya kira Komisi Yudisial (KY) harus diperkuat dengan kewenangan tersebut," tegasnya.

Ia mengungkapkan, Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang Undang (RUU) KY di DPR RI sudah membahas kewenangan ini.

"Pada pertemuan anggota lain, saya kira akan lebih yakin untuk memberikan kewenangan menyadap bagi KY," papar Aboe Bakar yang juga Anggota Panja RUU KY tersebut.

Ia berharap, pihak MA akan mendukung kewenangan tersebut, sehingga dapat mewujudkan sebuah Peradilan yang bersih di Indonesia.

"Banyak pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KY ini. Saya berharap, semua dapat mendukung penguatan kewenangan KY tersebut. Dan seharusnya, MA juga mendukungnya, agar rakyat meyakini, bahwa mereka memiliki komitmenmenyelenggarakan Peradilan yang bersih," tandasnya.

Baginya, penambahan kewenangan tersebut, diyakini akan membawa diskursus di berbagai kalangan.

Tetapi, menurutnya, itu hal yang biasa ketika akan ada perubahan.

"Ketika KPK akan diberikan kewenangan, banyak pihak yang juga tidak sepakat. Namun setelah melihat hasilnya sekarang, banyak yang mendukung," ungkapnya.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KY, lanjut Aboe Bakar, merupakan ikhtiar untuk membersihkan Peradilan di Indonesia.(*)
(T.M036/M027)
http://www.antaranews.com/berita/261542/aboe-bakar-ky-harus-diberi-kewenangan-menyadap

KY Bisa Lakukan Penyadapan?

KY Bisa Lakukan Penyadapan?
Hukum & Kriminal / Minggu, 5 Juni 2011 17:33 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Keberadaan Komisi Yudisial (KY) sangat vital. Karena itu, kewenangan KY perlu diperluas, termasuk diberi wewenang penyadapan. Sebab, penyadapan terbukti efektif. Dan, sudah sepantasnya KY mendapat kewenangan tersebut. Kata Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Al Habsy, saat menanggapi kasus penangkapan Hakum Syarifuddin Umar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Banjarmasin, Kalimantan Timur, Ahad (5/6).

Menurtnya, kasus penangkapan Syarifuddin menambah panjang daftar hitam para hakim nakal. "Itu menandakan bahwa para hakim dan penegak hukum lainnya juga manusia biasa. Sehingga, tetap memerlukan sistem kontrol. Salah satunya dengan penyadapan," tegas Habib.

"Dengan kewenangan yang jelas dan kuat, seperti penyadapan, diharapkan kasus-kasus hakim nakal dan mafia hukum peradilan dapat dituntaskan," kata anggota DPR dari PKS itu. (MI/ARD)

http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/06/05/53726/KY-Bisa-Lakukan-Penyadapan?/

Aboe Bakar: Ramadhan Harus Bersikap Ksatria

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Statement Ramadhan Pohan terkait inisial A yang diduga mengobok-obok Partai Demokrat, telah membakar jenggot anggota DPR RI asal Kalsel, Aboe Bakar Al-Habsy.


Dalam rilis yang dikirim ke email BPost, senator asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu kebanjiran telefon dari para konstituennya mengenai persoalan tersebut.

"Banyak konstituen yang tanya apakah saya yang dimaksud "Mr A" oleh Ramadhan Pohan. Apalagi saya satu komisi dengan Nazaruddin,” ujar anggota komisi III DPR RI itu.

Dia sangat menyayangkan pola komunikasi politik yang dilakukan dengan menyebarkan benih fitnah seperti itu. Akibatnya situasi politik bangsa ini semakin keruh dan tidak memberikan pendidikan politik yang baik untuk masyarakat.

"Dengan melempar inisial "Mr A" banyak pihak yang bisa kecantol. Mungkin bisa Abu Rizal Bakrie, Anis Matta, Akbar Tanjung, bisa juga saya Aboe Bakar Al Habsyi,” tandasnya.

Oleh karena itu, ia berharap agar Ramadhan Pohan bisa bersikap Ksatria dengan menyebut langsung siapa sebenarnya orang yang dimaksud. Dengan harapan tidak ada yang dikambinghitamkan atas persoalan tersebut.