Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan
vonis mati terhadap gembong narkoba jaringan internasional Deni Setia
Maharwa alias Rapi Mohammed Majid, melalui putusan setelah diajukan
Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana dinilai tidak tepat.
"Sebenarnya putusan MA telah offside karena menyatakan bahwa hukuman
mati bertentangan dengan konstitusi, ini seharusnya kewenangan
Mahkamah Konstitusi (MK), bukan kewenangan MA. Hakim MA tidak memiliki
kewenangan untuk menafsirkan sebuah hukum bertentangan ataukah tidak
dengan konstitusi,"kata anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Al-Habsy
di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Aboe Bakar juga menilai, MA tidak konsisten dengan putusannya.
Pasalnya, MA sudah menjatuhkan vonis berupa hukuman mati setelah
diajukan kasasi oleh terpidana. Namun membatalkannya dan menjadikan
Deni dipenjara seumur hidup setelah terpidana mengajukan Peninjauan
Kembali (PK).
Selain itu, tambah politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, MA dengan
tegas menghukum mati Kolonel M Irfan Djumroni, Amrozi, Imam Samudera,
dan Muklas. Namun saat memutus 3 gembong narkoba dikatakan hukuman
mati bertentangan dengan konstitusi dan HAM.
"Ini kan berarti tidak ada equality before the law, buat para gembong
narkoba hukuman mati dikatakan inkonstitusional namun buat yang lain
tidak," kata Aboe Bakar. Ia menilai, para hakim MA semakin permisif
dengan persoalan narkoba, seolah ini persoalan biasa saja, padahal ini
menyangkut jutaan nasib generasi muda Indonesia.
"Para hakim yang duduk disana sepertinya telah mengabaikan jumlah
korban narboba yang mencapat 3,8 juta pecandu, serta puluhan juta
orang yang menjadi potencial victim lainnya," kata Aboe Bakar. Oleh
karena itu, ia meminta Komisi Yudisial segera bersikap.
"Saya minta KY tidak diam saja, mereka harus menjalankan tugasnya,
harus dilakukan kajian atas persoalan ini. Bagaimanapun masyarakat
melihat banyak keganjilan atas putusan-putusan MA untuk para gembong
narkoba ini. Jangan sampai KY hanya sebagai penonton saja," ujarnya.
Kedepannya, Badan Narkotika Nasional (BNN) juga lebih aktif
mensosialisasikan bahaya narkoba kepada hakim-hakim. "Saya minta
kepala BNN untuk melakukan sosialisasi kepada para hakim soal bahaya
narkoba, biar nanti tidak disalahpahami betapa mengerikannya ancaman
dari narkoba ini," pungkas Aboe Bakar.
MA membatalkan vonis mati kepada gembong narkoba sindikat
internasional, Deni Setia Maharwa alias Rapi Mohammed Majid yang
sebelumnya melalui putusan kasasi MA, dihukum mati. "Mengabulkan
permohonan PK Deni berupa perubahan dari pidana mati yang dijatuhkan
kepadanya menjadi pidana penjara seumur hidup," begitu isi dari
website MA.
MA menjatuhkan vonis mati terhadap Deni tanggal 18 April 2001 melalui
putusan kasasi. Putusan tersebut memperkuat putusan PN Tangerang
tanggal 22 Agustus 2000 karena ditemukan 3 kg kokain dan 3,5 kg heroin
di dalam tasnya saat hendak menyelundukan barang haram tersebut ke
London pada 12 Januari 2000 sesaat sebelum berangkat dengan pesawat
Cathay Pacific lewat Bandara Soekarno-Hatta.
Selain Deni, dibekuk juga dua anggota sindikat lainnya, Meirika
Franola dan Rani Andriani. Pembatalan vonis mati setelah diajukan PK
oleh terpidada ini menyusul adanya keringanan menjadi hukuman seumur
hidup kepada Meirika Franola.
MA juga pernah membatalkan vonis mati kepada warga Nigeria Hillary K
Chimezie, pemilik 5,8 kilogram heroin dan mengubah hukumannya menjadi
penjara 12 tahun. MA membebaskan pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan
dari hukuman mati menjadi hukuman 15 tahun penjara pada 16 Agustus
2011 lalu.
0 komentar:
Posting Komentar