Anggota Komisi III DPR Aboebakar Al Habsy mempertanyakan sikap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengindahkan permintaan grasi
terhadap gembong narkoba.
"Terus terang sangat terkejut mendengar presiden mengeluarkan grasi
lagi untuk para pengedar narkoba, kali ini untuk Deni Setia Maharwan
dan Merika Pranola. Apalagi sebelumnya MA juga membatalkan vonis mati
beberapa gembong narkoba. Sungguh tak habis pikir, gimana bisa terjadi
yudikatif dan eksekutifnya setali tiga uang soal
narkoba, gimana nanti nasib anak bangsa ini 10 tahun ke depan," kata
Aboebakar, Sabtu, (13/10), di Jakarta.
Aboebakar menyatakan, tidak paham dengan cara pandang yang digunakan,
sehingga presiden terkesan begitu permisif dengan narkoba.
Padahal Badan Narkotika Nasional, (BNN), kan telah merilis data bahwa
rata-rata sekitar 50 orang meninggal karena narkoba setiap harinya.
Ditambah lagi sebanyak 4,2 juta penduduk Indonesia merupakan penggunanya.
"Indonesia sudah sedemikian darurat narkoba, lantas kenapa kita malah
permisif. Mungkin mereka juga lupa trickle-down effect dari pengaruh
narkoba, seorang yang mengkonsumsi narkoba tidak hanya membahayakan
dirinya, namun juga keluarga dan orang lain yang ada di sekitar
mereka,"
Dikatakan, tentu masih ingat dengan Afriliyani Susanti yang menabrak
12 orang karena sedang nyabu, atau kejadian kemarin, Novi yang
menabrak 7 orang lantaran engkonsumsi narkoba saat nyetir.
Menurutnya, itu bukti nyata bahwa pecandu narkoba akhirnya menjadi
ancaman bagi orang disekitarnya.
Lebih lanjut, presiden diharapkan tidak lupa dengan enam instruksinya
soal narkoba yang disampaikan dalam pidato menyambut hari Anti Narkoba
Internasional pada 26 Juni 2011, demikian pula tujuh pesan anti
narkoba oleh Wakil Presiden Boediono dalam pidato hari Anti Narkoba 26
Juni 2012.
"Kira perlu kesungguhan, integritas, dan kerja keras dari semua pihak
dalam melawan narkoba untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba 2015,
jangan sampai intruksi dan pesan antinarkoba tersebut hanya menjadi
untaian kata yang manis nan mulia namun tanpa makna," pungkasnya.
Sebelumnya Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menjelaskan,
presiden memiliki kewenangan dalam memberikan grasi dan rehabilitasi
sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 14 Ayat 1.
Sementara itu, sebelum memberikan grasi terlebih dulu presiden
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA), disamping itu juga
jajaran Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam),
diantaranya Menkumhan, Jaksa Agung, dan Menkopolhukam,
"Presiden sebelum memberikan grasi juga telah mempertimbangkan HAM dan
sisi konstitusional beliau berdasarkan kewenangan presiden dalam UUD.
Selain itu juga mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan," kata Julian,
Jumat, (12/10), di Kompleks Kepresidenan Jakarta.
Dikatakan, yang perlu dilihat, bahwa meski hukumannya diringankan
namun yang bersangkutan tidak berarti bebas, tetap berada di dalam
penjara seumur hidupnya.
Ini bahkan lebih berat dibanding hukuman 20 tahun penjara yang di
dalam aturannya dinyatakan sebagai masa hukuman paling lama.
"Karena yang bersangkutan sudah mengakui perbuatanya, mengaku
bersalah, dan mengajukan grasi kepada presiden. Karena itu presiden
kemudian memberikan grasi atas
pertimbangan tersebut," kata Julian.
Pada bagian lain, Julian mengatakan, presiden juga memperhatikan
banyak Warga Negara Indonesia (WNI) diluar negeri yang sedang
menghadapi vonis hukuman mati.
"Sekarang telah dan sedang diupayakan pengurangan hukuman. Dari
hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup kepada saudara-saudara kita
yang saat ini menghadapi vonis hukuman mati di negara-negara
tertentu," ujarnya. (R Zein/AKS)