JAKARTA. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyayangkan sikap aparat keamanan yang melakukan aksi kekerasan terhadap wartawan yang sedang melakukan tugas peliputan aksi damai unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Selasa (28/3) kemarin. Menurut Ketua DPP PKS Abu Bakar Al-Habsyi, tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian melanggar undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers.
Dia menambahkan, tindak kekerasan yang disertai dengan perampasan alat kerja wartawan tersebut dapat dikategorikan sebagai menghalangi kerja wartawan. Itu sebabnya, peristiwa ini harus diusut hingga tuntas, mengingat kemungkinan terdapat tindakan represif terhadap demonstran mahasiswa yang kebetulan tertangkap kamera wartawan tersebut.
Abu Bakar memaparkan bahwa dalam ketentuan pidana pasal 18 UU nomor 40 tahun 1999, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat menghambat atau menghalangi ketentuan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 terkait penghalang-halangan upaya media untuk mencari dan mengolah informasi, dapat dipidana dalam pidana kurungan penjara selama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
"Jadi ini ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang pers. Dan undang-undang ini juga berlaku untuk anggota kepolisian. Jangan kira kepolisian kebal hukum. Karena itu harus diproses secara hukum," tutur Abu Bakar di Gedung DPR, Jakarta, pada Rabu (28/3).
Selain itu, Abu Bakar juga mengingatkan bahwa dalam pasal 4 undang-undang pers, pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Oleh karena itu, dewan pers juga harus mengambil langkah tegas terkait insiden di Gambir, Jakarta Pusat.
"Saya lihat terjadi insiden perampasan peralatan liputan dan kaset rekaman yang disertai dengan kekerasan. Ini adalah hal yang serius," imbuhnya.
Anggota Komisi Hukum (III) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini meminta kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), untuk segera memproses kasus ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, Abu Bakar juga menyebut bahwa pelibatan tentara nasional Indonesia (TNI) dalam proses penanganan pengamanan unjuk rasa adalah hal yang tidak tepat.
Menurutnya, dalam Ketetapan MPR (TAP MPR) nomor VI/MPR/2000 telah memisahkan organ TNI dan Polri. Karena itu, sebaiknya pemerintah segera menghindari untuk melibatkan TNI dalam mengerjakan tugas-tugas polisi. Sebab, TNI dilatih dan dididik untuk keperluan menghadapi musuh dari luar Indonesia seperti untuk perang dan bukan untuk menangani aksi demonstrasi.
Abu Bakar menyebut bahwa TNI tidak memiliki standart operational procedur (SOP) dalam hal pengendalian masa. SOP yang dimiliki oleh TNI adalah untuk melumpuhkan dan menghancurkan musuh. Selain itu, penugasan TNI untuk menghadapi demonstrasi tidaklah tepat. Karena tidak sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Karena itu saya minta TNI segera dikembalikan ke barak, jangan membuat rakyat semakin panik dengan isu gerakan massa yang besar dan anarkhis. Sudah cukup rakyat terjepit dengan kenaikan harga akibat isu kenaikan harga BBM, jangan tambah lagi rasa aman mereka terganggu dengan isu gerakan masa," pungkasnya.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
0 komentar:
Posting Komentar