BANJARMASIN--MICOM: Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang melakukan pengetatan pemberian remisi (pengurangan hukuman) bagi terpidana korupsi dinilai prematur dan melanggar HAM. Banyak napi batal bebas akibat kebijakan sepihak yang justru merusak tatanan hukum di Indonesia tersebut.
"Kebijakan pengetatan remisi ini prematur dan telah mengacak-acak prosedur hukum. Akibatnya, banyak napi yang seharusnya bebas malah tertahan dan menggantung," tutur Aboe Bakar Al Habsy, anggota Komisi III DPR, ditemui usai melakukan kunjungan ke sejumlah LP di Kalimantan Selatan, Jumat (11/11).
Celakanya, keputusan Kementerian Hukum dan HAM untuk membatalkan kebebasan seseorang yang sebelumnya sudah dibekali SK Menteri, hanya dengan selembar faks saja. Aboe Bakar menyebut kebijakan ini hanya bagian dari pencitraan kabinet baru, tetapi dampaknya sangat besar dan merugikan masyarakat, serta wajah hukum di Tanah Air.
Sebagai contoh, di LP Martapura, Kabupaten Banjar, tercatat ada empat orang napi yang seharusnya bebas menjadi tertahan karena kebijakan pengetatan ini.
"Jika ingin menerapkan kebijakan baru atau mengubah undang-undang, seharusnya harus melalui prosedur yang benar. Artinya, perlu persetujuan DPR," keluhnya.
Empat orang napi yang batal bebas akibat kebijakan ini, yaitu Ery Purwana, HM Tabrani, Zainal Hakim, dan Putu Karsana. Demikian juga dengan LP Teluk Dalam, Banjarmasin. Dari LP terbesar di Kalsel ini, dilaporkan ada sejumlah nama napi perkara korupsi yang batal bebas.
Menurut politisi dari PKS ini, upaya penegakan hukum memang penting, tetapi harus sesuai dengan aturan. Yang terjadi, Kementerian Hukum dan HAM justru melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.
Pada bagian lain, Aboe Bakar juga menyoroti masih buruknya tata kelola LP yang ada di sejumlah daerah termasuk Kalsel. Sebagian besar LP dalam kondisi kelebihan kapasitas.
LP Martapura, dengan kapasitas 183 orang, diisi sebanyak 698 orang. Demikian juga dengan Lapas Teluk Dalam, dari kapasitas 336 orang tetapi dihuni 1.326 orang.
Di Kalsel jumlah napi dan tahanan penghuni LP mencapai 4.093 orang. Sementara kapasitas total lapas yang ada hanya 1.578 orang.
Celakanya, keputusan Kementerian Hukum dan HAM untuk membatalkan kebebasan seseorang yang sebelumnya sudah dibekali SK Menteri, hanya dengan selembar faks saja. Aboe Bakar menyebut kebijakan ini hanya bagian dari pencitraan kabinet baru, tetapi dampaknya sangat besar dan merugikan masyarakat, serta wajah hukum di Tanah Air.
Sebagai contoh, di LP Martapura, Kabupaten Banjar, tercatat ada empat orang napi yang seharusnya bebas menjadi tertahan karena kebijakan pengetatan ini.
"Jika ingin menerapkan kebijakan baru atau mengubah undang-undang, seharusnya harus melalui prosedur yang benar. Artinya, perlu persetujuan DPR," keluhnya.
Empat orang napi yang batal bebas akibat kebijakan ini, yaitu Ery Purwana, HM Tabrani, Zainal Hakim, dan Putu Karsana. Demikian juga dengan LP Teluk Dalam, Banjarmasin. Dari LP terbesar di Kalsel ini, dilaporkan ada sejumlah nama napi perkara korupsi yang batal bebas.
Menurut politisi dari PKS ini, upaya penegakan hukum memang penting, tetapi harus sesuai dengan aturan. Yang terjadi, Kementerian Hukum dan HAM justru melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.
Pada bagian lain, Aboe Bakar juga menyoroti masih buruknya tata kelola LP yang ada di sejumlah daerah termasuk Kalsel. Sebagian besar LP dalam kondisi kelebihan kapasitas.
LP Martapura, dengan kapasitas 183 orang, diisi sebanyak 698 orang. Demikian juga dengan Lapas Teluk Dalam, dari kapasitas 336 orang tetapi dihuni 1.326 orang.
Di Kalsel jumlah napi dan tahanan penghuni LP mencapai 4.093 orang. Sementara kapasitas total lapas yang ada hanya 1.578 orang.
0 komentar:
Posting Komentar