INILAH.COM, Jakarta - Kondisi pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah belakangan menimbulkan dua pendapat yang sama ekstrem. Ada yang ingin dibubarkan, ada pula yang ingin mempertahankan. Ini sama saja mempertentangkan asas keadilan dan legalitas hukum, mana yang dipilih?
Dua pendapat ekstrem muncul dalam menyikapi fenomena pengadilan Tipikor di daerah. Hal ini setelah Pengadilan Tipikor membebaskan sedikitnya 40 terdakwa korupsi yang tersebar di sejumlah daerah. Sayangnya, perdebatan di ruang publik yang melibatkan pemangku kebijakan baik, aparat penegak hukum, hingga kalangan legislator, mayoritas tidak ada solusi nyata atas persoalan di Pengadilan Tipikor.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al-Habsy berpendapat cenderung moderat dalam menyikapi persoalan dua kutub yang saling bertengangan. Dia menyebutkan lebih baik dalam menyikapi Pengadilan Tipikor dilakukan penyederhanaan. "Perlu dikaji penyederhanaan, mungkin bisa dibuat Koordinator Wilayah (Korwil) saja," katanya melalui pers rilis yang diterima INILAH.COM di Jakarta, Selasa (8/11/2011).
Dia mencontohkan Pengadilan Tipikor Surabaya bisa menjadi koordinator di wilayah Indoensia bagian timur, pengadilan Tipikor Banjarmasin bisa menjadi korwil untuk wilayah Indonesia tengah serta Medan menjadi korwil Indonesia bagian barat. "Saya rasa penyederhanaan jumlah ini lebih baik daripada pembubaran," cetusnya.
Aboe menyebutkan pendapat ini tidak bertentangan dengan amanat UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Karena hingga saat ini, Mahkamah Agung (MA) telah membentuk pengadilan tipikor di 33 Pengadilan Negeri (PN) serta 30 Pengadilan Tipikor di tingkat banding. "Harus diakui, untuk memantau yang ada saja sulit," aku Aboe.
Pemikiran ini jika diamati memang cenderung moderat di tengah menguatnya dua pendapat yang ekstrem. Perdebatan ini sejatinya antara dua pilihan apakah memilih asas keadilan yang berarti membubarkan pengadilan Tipikor di daerah sebagai wujud meraih keadilan bagi masyarakat yang menilai pengadilan korupsi di daerah tidak memberi rasa keadilan.
Atau justru sebaliknya, mempertahankan pengadilan tipikor tanpa ada kritik sama sekali meski terdapat kondisi obyektif pengadilan Tipikor daerah dengan berpijak asas legalitas sebagaimana yang tertuang di UU No 46 tahun 2009.
Jika keadilan dipertentangkan dengan legalitas, menurut gurubesar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Ashiddiqie harus dipilih asas manfaat dari kedua pilihan tersebut. Pilihan kemanfaatan dalam pengadilan Tipikor daerah semestinya tetap diperhatikan.
Bagaimanapun, Pengadilan Tipikor telah memberi sumbangsih dalam pemberantasan korupsi. Ada 40 terdakwa korupsi yang bebas, tidak berarti harys membakar seluruh pengadilan Tipikor. Jika ada tikus di gudang, bukan gudang yang dibakar namun tikus yang ditangkap. Begitu pula di Pengadilan Tipikor daerah.
0 komentar:
Posting Komentar