INILAH.COM, Jakarta - Belakangan gagasan melikuidasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengemuka. Ini disebabkan sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah melepas sejumlah terdakwa kasus korupsi. Beginikah jalan keluar atasi persoalan ini?
Sedikitnya, 40 terdakwa korupsi yang bebas di meja sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebanyak 21 terdakwa Tipikor Surabaya, 14 terdakwa di Tipikor Samarinda empat terdakwa di Tipikor Samarinda, dan satu terdakwa di Tipikor Semarang. Fakta inilah yang memantik usulan agar Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan.
Sejumlah tokoh, Wakil Menteri Hukum dan HAM, politisi, hingga aktivis LSM menyuarakan agar Pengadilan Tipikor dibubarkan. Tak tanggung-tanggung, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga mengutarakan pendapat untuk melikuidasi pengadilan tipikor di daerah.
Usai bertemu dengan pimpinan KPK awal pekan lalu, Denny mengungkapkan pihaknya berbicara dengan Pimpinan KPK tentang rencana revisi RUU Pengadilan Tipikor di daerah setelah melihat kondisi mutakhir Pengadilan Tipikor di daerah. "Soal pengadilan tipikor di daerah efektif atau tidak," katanya.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD juga menyuarakan agar Pengadilan Tipikor dibubarkan. "Gagasan untuk meninjau kembali atau kasarnya membubarkan pengadilan tipikor di daerah itu menjadi masuk akal dan lebih baik dikembalikan ke pengadilan umum," kata Mahfud MD akhir pekan lalu di kantornya.
Namun bukan tanpa soal ide melikuidasi pengadilan tipikior. Sejumlah politisi Senayan mengingatkan agar hati-hati dalam merespons kondisi di Pengadilan Tipikor. Selain diatur di UU Pengadilan Tipikor, persoalan tersebut harus dilihat secara komprehensif.
Anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi PKS Aboe Bakar al-Habsy mengakui tidak menampik realitas yang terjadi di lapangan. Hanya saja, dia mengingatkan agar persoalan yang terjadi di Pengadilan Tipikor tidak dipukul rata.
"Pembubaran (pengadilan tipikor) bukan solusi terbaik atas persoalan ini, karena masing-masing kasus persoalannya berbeda, tidak bisa dipukul rata," ujarnya kepada INILAH.COM melalui BlackBerry Messenger (BBM), Minggu (6/11/2011).
Dia mengingatkan, bisa saja persoalan yang muncul di Pengadilan Tipikor disebabkan penuntut yang bermasalah ataupun memang alat buktinya tidak cukup. "Karenanya perlu ada evaluasi mengenai penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas dan pengawasan," tegasnya.
Aboe berharap agar MA meningkatkan supervisi kepada hakim Pengadilan Tipikor begitu pula Komisi Yudisial (KY) sepatutnya meningkatkan pengawasan terhadap para hakim. "Jaksa agung maupun KPK perlu juga melakukan gelar perkara atas dakwaan dan tuntutan yang telah dibuat," katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi PPP Ahmad Yani mengatakan usulan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang mendorong agar koruptor dibawa dan diadili di Jakarta merupakan usulan yang melanggar UU.
Dia menyebutkan UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "UU No 46 Tahun 2009, dan saat ini sudah terbentuk pengadilan Tipikor tingkat pertama di 33 Pengadilan Negeri (PN) di ibukota Provinsi dan tingkat banding di 30 Pengadilan Tinggi," kata Yani.
Politikus PPP ini menyebutkan jika Pengadilan Tipikor dipindahkan ke Jakarta maka konsekuensinya mencabut UU tersebut. Padahal, sambung Yani, pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan aspirasi dari LSM.
"UU peradilan Tipikor yang mewajibkan seluruh provinsi harus ada. Maka MA baru membentuk beberapa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumsel, Sulsel, Kaltim, Jatim, Sumut, Lampung," kata Yani.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi PKB Marwan Ja'far juga mengingatkan agar usulan pembubaran Pengadilan Tipikor tidak secara gegabah harus dilakukan secara komprehensif. Dia mengingatkan kebijakan jangan berbasi reaktif.
Hal senada dikatakan staf pengajar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana yang menyebutkan persoalan Pengadilan Tipikor di daerah lebih terletak pada rekruitmen hakim di Pengadilan Tipikor. Pembenahan rekruitmen para hakim Tipikor di daerah dinilai sebagai jalan keluar atas persoalan di Pengadilan Tipikor.
Gagasan penghapusan pengadilan tipikor di daerah tak ubahnya dengan ide moratorium remisi ala Denny Indrayana. Jika tak hati-hati justru kebijakan akan menjadi blunder. Kebijakan tak hanya bermodal semangat, namun pengetahuan yang cakap juga menjadi pijakan yang harus dipenuhi. Apakah harus membakar lumbung padi jika di dalamnya ada tikus? Bukan begitu, kan?
0 komentar:
Posting Komentar