Sindonews.com - Pegadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah tengah disorot lantaran banyak memvonis bebas tedakwa koruptor. Hal ini mengundang keprihatinan publik karena menjadi sinyalemen buruk terhadap pemberantasan korupsi.
Buntutnya, muncul desakan untuk mengevaluasi Pengadilan Tipikor daerah, bahkan sampai ada yang mengusulkan untuk dibubarkan, dan dikembalikan ke pusat. Namun, wacana pembubaran Pengadilan Tipikor juga banyak menuai pro dan kontra. Sebab, pembubaran bukan solusi.
Ketua Fraksi PKB yang sekaligus anggota Komisi III Marwan Jafar meminta semua pihak tidak reaktif dalam menilai kebobrokan Pengadilan Tipikor daerah tersebut. Marwan kurang sepakat jika Pengadilan Tipikor itu serta merta ditutup. Dia mengusulkan agar ada perbaikan sistem secara menyeluruh.
“Kita harus tata sistemnya dulu secara komprehensif, tidak reaktif. Kita kaji dan dalami secara matang. Tidak bisa parsial asal komentar,” ujar Marwan, Minggu (6/11/2011).
Jika semua pihak melihat dengan utuh akan keberadaan Pengadilan Tipikor daerah maka nantinya langkah yang diambil tidak akan salah. “Kita melihatnya musti utuh dan terpola, terencana dengan matang,” kata dia.
Marwan mengakui untuk menata sistem itu tidak gampang, sebab dibutuhkan kebersamaan dalam membenahinya. “Menata sistem tidak mudah, butuh duduk bersama dan berpikir jernih,” tandasnya.
Hal senada diutarakan politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari yang mendesak agar Pengadilan Tipikor daerah dikajian ulang. Menurut hasil kunjungan kerjanya bersama Komisi III lainnya ke Maluku, terdapat beberapa kendala teknis yang menyulitkan bagi jaksa penuntut dalam melaksanakan sidang di Tipikor. Seperti jauhnya lokasi penuntut dengan Pengadilan Tipikor daerah, sehingga harus memakan biaya tinggi.
“Tipikor perlu dikoreksi. Hasil kunker Komisi III ke Maluku Utara yang kepulauan, sungguh mejadi beban bagi penuntut. Dari Kabupaten Tabuha, harus menempuh 14 jam ke Pengadilan Tipikor di Ternate. Tentu ini memerlukan biaya transport yang tinggi untuk menghadirkan saksi dan ahli,” ujar Eva.
Hal tersebut kata Eva membuat jaksa penuntut menjadi patah semangat ketika para hakim memutus ringan para koruptor. “Kesulitan teknis ini menjadi parah ketika putusan para hakim tipikor amat ringan bahkan membebaskan. Penuntut menjadi hilang semangat kan, sehingga justru kehadiran Pengadilan Tipikor menjadi kontra produktif,” imbuhnya.
Untuk mengatasi hal itu, Eva mengusulkan dua cara. Pertama, penyelenggaraan Pengadilan Tipikor dibuat fleksibel. “Misalnya majelis hakim dihadirkan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan pelaksanaan sidang dibuat intensif,” ucapnya.
Kedua, dihilangkan tetapi menguatkan hakim-hakim Pengadilan Negeri (PN) agar sertifikasi dilaksanakan meluas, untuk hakim-hakim PN. “Ini lebih masuk akal, karena tindak pidana korupsi merata hingga di PN. Kedua opsi tersebut bisa jadi pilihan untuk revisi UU yang ada,” terangnya.
Sulit dipantauBegitu pula dengan politikus PKS Aboe Bakar, menilai banyaknya para koruptor yang bebas tak lepas dari andil Pengadilan Tipikor daerah. Sebab, keberadaannya sulit untuk dipantau. Meski demikian, kata dia pembubaran pengadilan tipikor bukanlah solusi dalam memperketat hukuman bagi para koruptor.
"Memang terdapat kemungkinan peradilan daerah sebagai salah satu penyebab banyaknya koruptor yang bebas, karena sulit melakukan pemantauan. Namun pembubaran bukan solusi terbaik atas persoalan ini, karena masing" kasus persoalannya berbeda, tidak bisa dipukul rata," ujar Aboe Bakar kepada okezone, Sabtu (5/11/2011).
Lanjut Aboe Bakar, kata dia lolosnya para koruptor itu bisa disebabkan karena tuntutannya yang lemah atau bisa saja karena buktinya yang tidak lengkap. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera melakukan evalausi terkait keberadaan tipikor daerah itu.
"Ada kemungkinan penuntutnya yang bermasalah ataupun memang alat buktinya tidak cukup. Karenanya perlu ada evaluasi mengenai penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas dan pengawasan, saya rasa terlalu sumir untuk disimpulkan perlu pembubaran," kata dia.
Aboe Bakar juga meminta agar Mahkamah Agung (MA) benar-benar melakuka supervisi terhadap bawahannya. Begitu juga dengan Komisi Yudisial (KY), harus memperketat pengawasannya terhadap para hakim di daerah itu.
"Saya harap MA perlu meningkatkan supervisi ke hakim tipikor, sedang KY sepatutnya meningkatkan pengawasan. Jaksa Agung maupun KPK perlu juga melakukan gelar perkara atas dakwaan dan tuntutan yang telah dibuat," imbuhnya.
Bagi anggota Komisi III itu, pembubaran tipikor daerah bukannlah solusi satu-satinya. Sebab jika dikembalikan ke Jakarta, maka perkara para koruptor itu sulit bisa dengan cepat diselesaikan. "Ide pembubaran akan sulit diterima mengingat besarnya beban perkara tipikor, jadi kalau semua ditangani pusat akan over load," pungkasnya.
Sebelumnya, kinerja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah mulai diragukan. Belakangan muncul usulan menghapus keberadaan Pengadilan Tipikor daerah untuk kembali berpusat di Jakarta. Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebut ada 40 terdakwa perkara korupsi yang divonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor di daerah.
Vonis bebas tersebut terdiri dari empat vonis bebas di Bandung, Jawa Barat; satu di Semarang, Jawa Tengah; 14 di Samarinda, Kalimantan Timur; dan 21 di Surabaya, Jawa Timur. "Vonis bebas ini karena dakwaan lemah, hakim lemah yang membuat adanya mafia peradilan," kata Emerson.
Menurutnya, vonis bebas itu juga terjadi karena gagalnya Mahkamah Agung menyeleksi hakim khusus tindak pidana korupsi. "Juga pengawasan hakim yang masih lemah," jelasnya.