Rabu, 20 Februari 2013

Putusan Bebas Hotasi Ingatkan Agar Jangan Mudah Memvonis Seseorang

Putusan bebas atas Hotasi Nababan di Pengadilan Tipikor seharusnya menjadi baik agar siapapun jangan divonis bersalah terlebih dahulu sebelum pengadilan selesai digelar.

Menurut Anggota Komisi Hukum DPR RI, Aboebakar Al Habsyi, selama ini banyak pihak yang sudah 'menghukum' para tersangka korupsi padahal pengadilan belum digelar.

"Kita sudah memvonis seseorang bahkan sebelum selesai proses penyidikan. Harus disadari bahwa peradilan itu tempat untuk mencari keadilan, jadi perkara yang diajukan bisa benar, bisa pula salah. Kalau semua sudah dinilai salah sejak proses penyidikan, buat apa ada pengadilan," katanya di Jakarta, Rabu (20/2).

Politisi PKS itu menyatakan dirinya melihat tidak ada yang salah dari proses persidangan kasus Hotasi, yang mulanya dari wanprestasi pihak mitra PT Merpati dimana yang bersangkutan adalah direksinya. Sebagai BUMN alias badan usaha yang menjalankan bisnis, kata Aboebakar, tentunya kadang untung kadang juga bisa rugi.

"Jadi tak bisa bila lantas rugi pelaku usahanya harus dipidana, mana ada ceritanya orang dagang itu untung terus, pasti ada dinamikanya," tuturnya. "Saya kira putusan ini cukup baik untuk menyadarkan kita, bahwa tidak ada tuntutan buat pengadilan untuk selalu memvonis bersalah setiap terdakwa."

Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, mencetak sejarah baru dengan memutus bebas eks Direktur PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan dari semua dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung. 

Hotasi dinyatakan tidak terbukti melawan hukum dalam kasus pengadaan dua pesawat jenis Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 pada 2006 dari perusahaan leasing di Amerika Serikat, Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) sebagaimana dakwaan jaksa, yaitu melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan primer.

Dan juga dinyatakan tidak terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi sebesar US$ 1 juta dari pengadaan dua pesawat tersebut, sebagaimana dalam dakwaan Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dalam dakwaan subsider.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Hotasi Nababan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer dan subsider. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tersebut," kata Ketua Majelis Hakim, Pangeran Napitupulu dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (19/2).

Selain itu, majelis hakim menyatakan bahwa memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan serta harta dan martabatnya.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengatakan bahwa terdakwa selaku dirut Merpati Nusantara Airlines telah berhati-hati sebelum akhirnya menyetujui mentransfer security deposit sebesar US$ 1 juta ke TALG melalui rekening Hume & Associates PC yang ditunjuk sebagai penampung dana sesuai kesepakatan dalam Lease Agreement Summary of Term (LASOT) yang ditandatangani Jon Cooper selaku CO dari TALG pada 18 Desember 2006 oleh Tony Sudjiarto, General Manager di MNA atas kuasa dari Hotasi. Sebagai bentuk pembayaran sewa dua pesawat dengan TALG.

Menurut hakim anggota, Alexander Marwata, perbuatan hati-hati terdakwa terbukti dengan bantuan konsultan Lauren Simburian untuk mengecek TALG dan Hume & Associates PC.

Alexander juga menganggap bahwa apa yang dilakukan Hotasi adalah sebuah risiko bisnis demi kemajuan perusahaan yang tengah dalam kondisi keuangan yang terpuruk.

"Dalam dunia bisnis, kecepatan dan ketepatan ambil keputusan sangat penting. Risiko dalam bisnis selalu ada dan tidak bisa dihindari. Bagi perusahaan airlines yang selalu sulit bayar sewa pesawat tentu tidak mudah untuk dapat menyewa peswat. Kondisi inilah yang dialami MNA dan kesempatan untuk memperbaiki keuangan perusahaan," katanya.

Mengingat, kondisi keuangan MNA pada 2006 sangat parah. Terbukti, audit keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2006 diketahui neraca keuangan per tanggal 31 Desember 2006 ditutup dengan nilai aktiva Rp 672 miliar, kewajiban utang Rp 2,16 triliun dan modal minus Rp 1,49 triliun, serta, rugi tahun berjalan Rp 283 miliar.

Sehingga, sulit bagi Merpati untuk mendapatkan sewa pesawat. Padahal, salah satu solusi untuk memperbaiki keuangan dengan menambah armada peswat yang pada 2006 jumlahnya tidak mencapai 25 unit.

"Dari saksi-saksi terungkap keinginan menyewa pesawat tersebut sudah lama tetapi selalu gagal karena keuangan MNA tidak baik," ujar Alexander.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa tidak terbukti terdakwa berusaha menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi terkait sewa pesawat dengan TALG.

Sebab, dalam perjanjian antara MNA dan TALG dikatakan bahwa pembayaran security deposite bersifat renfundable atau bisa dikembalikan jika TALG melanggar perjanjian, yaitu tidak memberikan pesawat sesuai perjanjian.

Sehingga, tegas Alexander, tidak ada niat dari terdakwa untuk menguntungkan diri sendiri ataupun pihak TALG dan Hume.

"Kemunculan TALG tentu menjadi peluang yang tidak bisa disia-siakan. Terlebih lagi, pesawat yang ditawarkan yang selama ini diinginkan MNA. Sehingga, yang diharapkan MNA adalah keuntungan. Demikian juga TALG mengharapkkan keuntungan dengan membeli pesawat dari TALG, sehingga tidak ada niat menguntungkan TALG," ungkapnya.

Terkait uang US$ 1 juta yang belum dikembalikan oleh Presiden Direktur TALG Alan Messner dan Jon Cooper selaku CO dari TALG, dianggap oleh majelis hakim sebagai risiko bisnis. Dan menganggap itu adalah itikad tidak baik dari rekan bisnis. Padahal, MNA sudah berusaha mengejar uang tersebut melalui jalur hukum. Bahkan, pengejaran uang tersebut masih dilakukan MNA sampai saat ini.

Terbukti, telah keluar putusan Pengadilan District of Columbia, Amerika Serikat 8 Juli 2007 yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG dan Alan Messner. Sehingga, Jon dan Alan dinyatakan wanprestasi. Serta, harus mengembalikan security deposite yang telah dibayarkan MNA.

0 komentar:

Posting Komentar