Sengketa Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan
kasus simulator surat izin mengemudi (SIM) jangan sampai
berlarut-larut sehingga membuat para koruptor bertepuk tangan. Dalam
hal ini, Indonesia harus meniru KPK Hongkong yang pada tahun 2005
mendapatkan isu legalitas atas bukti hasil penyadapan yang dikumpulkan
oleh ICAC, yang dikarenakan proses penyadapan yang belum ada prosedur
yang legal. Tak lama berselang, pada Agustus 2006 dikeluarkan lah
Interception and Covert Surveillance Ordinance (ICSO) untuk menjawab
persoalan ini.
"Jawaban atas persoalan hukum direspons sedemikian cepat, sehingga
permasalahan menjadi tuntas dan tidak terulang kembali. Persoalan
Polri dan KPK sebenarnya sudah mencuat pada tahun 2008 sehingga muncul
istilah Cicak Vs Buaya, namun persoalan ini tidak menemukan jalan
keluar yang tuntas untuk mensinergikan dua lembaga penegak hukum ini.
Maka tidaklah mengherankan bila sekarang benih ini kembali muncul, dan
tak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi Cicak Vs Buaya jilid
II," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Aboebakar Alhabsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat
lalu (Selasa, 7/8).
Sebenarnya, ungkap Aboebakar, persoalan serupa ini juga pernah terjadi
di Hongkong sekitar tahun 1977. Saat itu ICAC melakukan operasi
besar-besaran dan pembersihan korupsi di tubuh kepolisian Hong Kong.
Tapi rupanya apa yang dilakukan ICAC itu berbuah kemarahan polisi
korup. Pada saat itu para penyidik ICAC menuai teror dan intimidasi
dalam menjalankan tugasnya, dan puncaknya para Polisi korup menyerbu
dan melempari kantor ICAC.
Aboebakar bakar melihat persoalan di Hongkong itu cepat selesai karena
mendapat dukungan penuh dan political will dari Gubernur Hong Kong,
yang saat itu masih dikuasai Inggris. Selain itu, Gubernur Hongkong
mengeluarkan amnesti, bagi mereka yang melakukan korupsi sebelum tahun
1977. Ketiga, polisi yang bergabung di ICAC telah disumpah untuk
memiliki integritas dan memberantas korupsi. Akhirnya, kebijakan
Gubernur itu pun berimbas positif dan secara berangsur polisi Hong
Kong mereformasi diri, dengan memecat dan memenjarakan polisi yang
korup.
"Lantas bagaimana di Indonesia, sudahkan Presidennya turun langsung
memimpin pemberantasan korupsi? Sudahkan pemberantasan korupsi itu
dimulai dari halaman Istana? Sudahkan dibenahui keberanian dan
ketegasan dalam perang melawan korupsi," kata Aboebakar, sambil
mengatakan bahwa diskusi antar pakar yang mempertentangkan antar pasal
ataupun antar aturan tidak akan membuahkan hasil apa-apa karena
merekatidak punya kewenangan, dan hasilnya hanya menjadi wacana saja.
"Bagaimanapun kewenangan di republik ini ada di bawah Presiden, meski
KPK tidak ada di bawah presiden. Oleh karena itu, buat apa power yang
sedemikian besar bila tidak dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan
bangsa. Hemat saya beliau harus turun langsung, jangan hanya
menugaskan Menko Polhukam, atau hanya membentuk Tim Delapan seperti
pada kasus Cicak dan Buaya dahulu," demikian Aboebakar
0 komentar:
Posting Komentar