PKS meminta Presiden SBY harus segera turun tangan menyelesaikan
masalah KPK-Polri. Hanya ketegasan Presiden SBY yang bisa menuntaskan
masalah ini sebelum dampaknya meluas.
"Strategi nasional adalah sebuah kemauan politik dari rezim ini untuk
melakukan pemberantasan korupsi yang meliputi tiga hal yakni
penindakan, pencegahan, dan pendidikan publik tentang anti korupsi.
Tiga hal ini harus berkolaborasi,di bawah komando presiden. Saya kira
ini adalah solusi atas persoalan ini, namun hemat saya beliau harus
turun langsung, jangan hanya menugaskan Menko Polhukam, atau hanya
membentuk tim 8 seperti pada kasus cicak buaya dahulu," papar anggota
Komisi III DPR dari PKS, Aboe Bakar, kepada wartawan di Gedung DPR,
Senayan,Jakarta, Selasa (7/8/2012).
Menurut Aboe, respon pemerintah terhadap sebuah persoalan hukum memang
cenderung lambat. Sengketa Polri dan KPK soal penanganan perkara di
Korlantas ini tak boleh dibiarkan berlarut. Jangan sampai, lanjut Aboe, para
koruptor bertepuk tangan melihat persoalan ini.
"Persoalan Polri dan KPK sebenarnya sudah mencuat pada tahun 2008
sehingga muncul istilah Cicak Vs Buaya, namun persoalan ini tidak
menemukan jalan keluar yang tuntas untuk mensinergikan dua lembaga
penegak hukum ini. Maka tidaklah mengherankan bila sekarang benih ini
kembali muncul, tak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi Cicak Vs
Buaya jilid II," ujarnya.
Sebenarnya, menurut Aboe, persoalan serupa juga terjadi di Hong Kong
sekitar tahun 1977. Saat itu ICAC melakukan operasi besar-besaran
pembersihan korupsi di tubuh kepolisian Hong Kong. Tapi rupanya apa
yang dilakukan ICAC itu berbuah kemarahan polisi korup.
Pada saat itu para penyidik ICAC menuai teror dan intimidasi dalam
menjalankan tugasnya. Puncaknya para polisi korup menyerbu dan
melempari kantor ICAC. Padahal kondisinya tak jauh beda dengan
Indonesia, diamana ICAC
juga diisi oleh polisi.
"Langkah apa yang dilakukan? Pertama, adanya dukungan penuh dan
political will dari Gubernur Hong Kong, saat itu masih dikuasai
Inggris, untuk mendukung pemberantasan korupsi di Hong Kong. Kedua,
Gubernur Hong Kong mengeluarkan amnesti yaitu bagi mereka yang
melakukan korupsi sebelum tahun 1977 akan diampuni. Ketiga, bahwa para
polisi yang bergabung di ICAC telah sudah disumpah untuk berintegritas
dan memberantas korupsi. Hingga akhirnya, Kebijakan Gubernur itu pun
berimbas positif. Berangsur kemudian, kepolisian Hong Kong mereformasi
diri. Mereka yang korup dipecat dan dipenjarakan," beber Aboe.
Lantas bagaimana di Indonesia, sudahkan presidennya turun langsung
memimpin pemberantasan korupsi? Sudahkan pemberantasan korupsi itu
dimulai dari halaman istana? Sudahkan diberkahi keberanian dan
ketegasan dalam perang melawan korupsi?
"Saya kira diskusi antar pakar yang mempertentangkan antar pasal atau
pun antar aturan tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kenapa? Karena
mereka hanya seorang pakar yang tidak punya kewenangan, hasilnya hanya
wacana dan wacana, bukan solusi. Bagaimana pun kewenangan di republik
ini ada di bawah presiden (meski KPK tidak ada di bawah presiden),
oleh karenanya buat apa power yang sedemikian besar bila tidak
dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang demikian.
Jangan sampai telat, dan juga jangan parsial, jangan sampai nanti ada
Cicak-buaya jilid II atau jilid III dan seterusnya," tandasnya.