Selasa, 19 Juli 2011
JAKARTA (Suara Karya): Pengajuan kasasi yang dilakukan Kejaksaan Agung atas putusan bebas Prita Mulyasari oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, dipertanyakan Komisi III DPR. Pasalnya, berdasarkan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terhadap putusan bebas Kejaksaan tidak dapat mengajukan kasasi. Namun tampaknya, kejaksaan lebih mengedepankan peraturan Menteri Kehakiman dan yurisprudensi ketimbang undang-undang.
Demikian kesimpulan yang disampaikan sejumlah anggota Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Jaksa Agung Basrief Arief yang didampingi jajarannya, di ruang rapat Komisi III DPR, Senin (18/7).
"Saya menyayangkan sikap Kejaksaan yang lebih mengedepankan peraturan Menteri Kehakiman dan yurisprudensi daripada undang-undang. Makanya saya mendesak Pak Jaksa Agung Basrief Arief menjelaskan hal tersebut. Karena, dasar pengajuan kasasi kasus Prita Mulyasari sangatlah lemah," ujar anggota Fraksi Partai Golkar Nudirman Munir.
Senada, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboebakar Al Habsyi mendesak Prita untuk segera mengajukan peninjauan kembali (PK).
Sebab, Prita bukanlah koruptor yang masalahnya harus diselesaikan dengan hukum. Keadilan yang disampaikan Prita, kata dia, hanya menyoal tentang layanan publik melalui surat elektronik yang dikirim. "Masa kasus seperti itu dikriminalisasi," ujarnya menambahkan.
Menanggapi pernyataan tersebut, Wakil Jaksa Agung Darmono menjelaskan, terdapat beberapa landasan hukum yang dijadikan Kejaksaan Agung sebagai dasar untuk kasasi atas putusan vonis bebas Prita di PN Tangerang.
Pertama, surat Menteri Kehakiman tahun 1982 tentang pedoman KUHAP. Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara atas terdakwa Sonson Natalegawa. Namun belum diketahui, dalam perkara apa Sonson terseret.
Menurut Darmono, Sonson ketika itu diputus bebas oleh PN Jakarta Pusat. Hanya, atas upaya kasasi yang dilakukan oleh jaksa, Sonson kemudian divonis bersalah oleh majelis hakim tingkat kasasi. Apalagi, kata Darmono, dalam hal ini Prita sendiri tidak bebas murni.
Dalam rapat tersebut, Komisi III juga mempertanyakan nasib 61 surat izin pemeriksaan kepala daerah yang dikirimkan ke presiden. Bahkan, Abu Bakar Al Habsy menanyakan siapa sesungguhnya yang berbohong. "Kejaksaan Agung atau Istana yang berbohong?" ujarnya.
Di bagian lain, Komisi III DPR menilai kinerja Kejaksaan Agung lemah dalam menyelesaikan kasus pencemaran nama baik Makindo yang menyeret pengacara Peter Kurniawan. Jika kasus ini dipetieskan, DPR mengancam akan memotong anggaran lembaga tersebut.
"Kita sebenarnya bosan, karena rekomendasi Komisi III seakan tidak digubris. Seolah hanya sinetron saja. Seperti halnya kasus Makindo. Sudah P21, tapi tidak segera dilimpahkan ke pengadilan. Ini ada apa," ujar Desmond Mahesa dari Partai Gerindra.
Desmond melontarkan hal itu karena Basrief Arief yang bekerja di kantor pengacara Hendrikus saat menjalani pensiun, beberapa waktu lalu, dikabarkan ada hubungannya dengan macetnya kasus Makindo.
"Ketika Pak Basrief pensiun, kemudian bekerja di kantor lawyer Hendrikus, kabarnya ini ada hubungannya dengan macetnya kasus Makindo. Apa benar ada kaitannya," ujar Desmond.
Tak kalah kerasnya, anggota Komisi III Syarifudin Sudding (FHanura) dan Bambang Soesatyo (FPG) mendesak Kejagung segera melimpahkan kasus Makindo ke pengadilan. "Kalau memang sudah P-21, segera limpahkan saja ke pengadilan," ujar Bambang Soesatyo. (Sugandi)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=283104
0 komentar:
Posting Komentar