This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 27 Agustus 2012

Komisi III: Kerusuhan Sampang Bisa Dicegah

Jakarta: "Kerusuhan di Dusun Nangkernang, Sampang, Madura, Jawa Timur,
seharusnya sudah bisa diantisipasi aparat keamanan, terutama polisi,"
kata anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al-Habsy di Jakarta, Ahad
(26/8).

"Konflik yang terjadi di Sampang bukan pertama kalinya untuk daerah
Madura. Seharusnya ada atensi khusus sehingga mampu diantisipasi,"
kata Aboe Bakar.

Bila perlu, kata dia, pejabat kepolisian yang ditugaskan di daerah
rentan konflik, seperti Sampang, harus memiliki kemampuan khusus.

"Mereka harus benar-benar memahami kultur dan budaya setempat, lebih
bagus lagi bila berasal dari daerah setempat. Jangan sampai polisi
hanya sebagai pemadam kebakaran, hanya mengirim pengendalian Massa dan
Brimob setelah terjadi konflik," kata politikus PKS ini.

Selain itu, tambahnya, fungsi Intelkam dan pembinanan Polmas harus
dikedepankan mulai dari Polsek sehingga semua potensi gesekan sosial
bisa dicegah.

Menurut Aboe, selain meminta Muspida Madura, MUI Madura, dan Dinas
Kementerian Agama untuk mengatasi persoalan, Polda Jawa Timur, harus
segera mengambil sikap. "Polda Jawa Timur harus segera turun tangan
untuk meredam persoalan ini," kata dia.

"Sudah cukup korban jiwa yang jatuh, jangan sampai lagi menambah
korban. Para tokoh masyarakat juga memegang peran penting untuk
menjaga kondisi keamanan. Karenanya, mereka harus dirangkul dalam
penanganan konflik ini," pungkas Aboe.

Kejadian berawal dari cekcok antara pengikut Syiah dan warga Sunni
yang berlanjut dengan kekerasan dan kerusuhan.(Ant/****)

Polisi di Sampang Harus Dibekali Kemampuan Khusus

Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI
Aboebakar Al Habsy menyesalkan insiden penyerangan terhadap warga
aliran Syiah di Nangkernang, Sampang, Madura, Jawa Timur yang
menyebabkan dua warga meninggal dunia. Aboebakar mendesak agar Polda
Jawa Timur turun tangan meredam aksi intoleran tersebut.

"Saya sangat sayangkan kerusuhan di sampang, penyerangan yang akhirnya
menghilangkan nyawa seperti ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan
apapun. Polda harus segera turun tangan untuk meredam persoalan ini,"
ungkap Aboe Bakar kepada Okezone, Senin (27/8/2012).

Seharusnya kata dia, pihak kepolisian memberikan perhatian khusus
terhadap daerah tersebut, sebab penyerangan terhadap aliran Syiah di
Sampang itu bukanlah insiden pertama kali. Bagi dia, pejabat
kepolisian yang ditempatkan di daerah tersebut harus memiliki
kemampuan khusus seperti memahami kultur dan budaya setempat.

"Saya lihat persoalan konflik yang demikian bukan pertama kalinya
untuk daerah Madura, seharusnya ada atensi khusus. Bila perlu pejabat
kepolisian yang ditugaskan di daerah rentan konflik yang demikian
harus memiliki kemampuan khusus, mereka harus benar-benar memahami
kultur dan budaya setempat, lebih bagus lagi bila berasal dari daerah
setempat. Jangan sampai polisi hanya sebagai pemadam kebakaran, hanya
mengirim Dalmas dan Brimob setelah terjadi konflik," kata dia.

Kata dia, Fungsi intelkam, dan pembinanan Polmas harus dikedepankan
mulai dari satuan Polsek, sehingga semua potensi gesekan sosial bisa
diantisipasi untuk kemudian dicegah terjadinya konflik horisontal.

Politikus asal Kalimantan ini juga berharap agar Muspida, Kementerian
Agama Sampang dan MUI agar aktif ikut meredam terjadinya konflik
horizontal. Di samping itu kata dia, tokoh agama setempat juga harus
dirangkul agar berperan aktif meminimalisir konflik masyarakat.
"Untuk menjaga stabilitas keamanan saya harap Muspida beserta jajaran
MUI dan Departemen Agama Sampang bisa bertindak aktif untuk meredam
persoalan ini. Sudah cukup korban jiwa yang jatuh, jangan sampai lagi
menambah korban. Para tokoh masyarakat juga memegang peran penting
untuk menjaga kondisi keamanan, karenanya mereka harus dirangkul dalam
penanganan konflik ini," ucapnya.

Kerusuhan Sampang Seharusnya Bisa Dicegah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kerusuhan di dusun Nangkernang, Sampang,
Madura seharusnya sudah bisa diantisipasi aparat keamanan, terutama
polisi, kata anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al Habsy, Ahad
(27/8).

"Konflik yang terjadi di Sampang bukan pertama kalinya untuk daerah
Madura. Seharusnya ada atensi khusus sehingga mampu diantisipasi,"
kata Aboe Bakar. Bila perlu, kata dia, pejabat Kepolisian yang
ditugaskan di daerah rentan konflik seperti Sampang harus memiliki
kemampuan khusus.

"Mereka harus benar-benar memahami kultur dan budaya setempat, lebih
bagus lagi bila berasal dari daerah setempat. Jangan sampai polisi
hanya sebagai pemadam kebakaran, hanya mengirim Pengendalian Massa dan
Brimob setelah terjadi konflik," kata politisi PKS ini.

Selain itu, fungsi Intelkam dan pembinanan Polmas harus dikedepankan
mulai dari Polsek sehingga semua potensi gesekan sosial bisa dicegah.

"Polda Jawa Timur harus segera turun tangan untuk meredam persoalan
ini," kata dia, selain juga meminta turun Muspida Madura, MUI Madura
dan Dinas Kementerian Agama mengatasi persoalan.

"Sudah cukup korban jiwa yang jatuh, jangan sampai lagi menambah
korban. Para tokoh masyarakat juga memegang peran penting untuk
menjaga kondisi keamanan. Karenanya mereka harus dirangkul dalam
penanganan konflik ini," pungkas dia.

Jumat, 24 Agustus 2012

Jika Djoko Tak Kooperatif, Polri Bakal Makin Terpuruk

Tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo diminta kooperatif dalam
proses penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi terkait perkara
dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri yang menjeratnya. Jika
tidak, maka nama baik Polri bisa semakin terpuruk.

"Jangan sampai di mata publik ada kesan diskriminatif. Gara-gara DS
tak mau diperiksa KPK, petinggi polisi terkesan tak tersentuh di
hadapan hukum," kata anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsuddin,
Jumat (24/8/2012).

Didi mengatakan, Djoko jangan sampai menodai niat baik yang pernah
disampaikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo bahwa Polri
mendukung sepenuhnya langkah KPK. Sebagai anggota kepolisian, Djoko
juga harus memberi teladan yang baik kepada masyarakat.

"Ini adalah kesempatan yang baik bagi DS untuk memberikan klarifikasi
hukum di hadapan KPK. Ikutilah proses hukum yang ada dengan sebaiknya.
Silahkan beberkan fakta dan bukti yang diperlukan," kata politisi
Partai Demokrat itu.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar
Al Habsy, merasa yakin bahwa Djoko akan kooperatif dengan KPK. Sebagai
penegak hukum, kata dia, Djoko pasti sangat paham setiap proses hukum.

Untuk menyelesaikan polemik perebutan kewenangan penanganan perkara
dugaan korupsi proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi
(SIM) antara KPK dan Polri, Aboe Bakar mengatakan bahwa Komisi III DPR
akan memanggil kedua pihak dalam waktu dekat. "Kita ingin mendengar
duduk perkara dan pemahaman masing-masing pihak," ujarnya.

Sebelumnya, pengacara Djoko, Fredrich Yunadi, mengungkapkan bahwa
Djoko menolak diperiksa KPK. Menurut Fredrich, Djoko yang sudah
diperiksa di Bareskrim Polri tidak bisa lagi diperiksa KPK dalam kasus
yang sama.

Pengacara Djoko yang lain, Juniver Girsang, mengatakan, Djoko akan
kooperatif sepanjang proses hukum di KPK sesuai prosedur. Menurut tim
pengacara, penetapan Djoko sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.
Alasannya, KPK tidak pernah memeriksa Djoko lebih dulu serta tidak ada
pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus kliennya.

KPK berencana memeriksa Djoko sebagai tersangka dalam waktu dekat.
Adapun mengenai waktu pemeriksaan masih dalam pembicaraan. Djoko
bersedia hadir dalam pemeriksaan sebagai saksi di Bareskrim hari ini.

Salah Tangkap, Bukti Aparat tak Profesional

JAKARTA -- Kasus salah tangkap dan penganiayaan terhadap Mintoro yang
dilakukan oleh oknum Polres Kediri, Jawa Timur, sungguh
memerihatinkan. Kejadian ini menunjukkan aparat tidak profesional.

"Saya sangat prihatin ketika aparat kepolisian masih melakukan salah
tangkap dan penganiayaan yang terjadi di Polres Kediri. Ini
menunjukkan bahwa aparat di lapangan masih sulit untuk bertindak
profesional," kata Anggota Komisi III DPR, Aboebakar Alhabsy, Kamis
(23/8).

Seperti diketahui, Mintoro, warga Dusun Pojok, Desa Selosari, yang
sehari-hari berprofesi sebagai penyembelih ayam, dihajar di rumahnya
oleh sejumlah polisi, Minggu (19/8). Mintoro menjadi korban salah
tangkap polisi yang mencari bandar narkoba bernama Keceng yang tak
lain adalah tetangga penyembelih ayam itu.

Aboebakar menyatakan sebenarnya sangat menghargai kinerja para polisi
yang masih gigih bertugas di malam takbiran mengejar bandar narkoba.
Menurutnya, ini
menunjukkan bahwa mereka sangat bersemangat dalam menjalankan tugas.

Namun, kata dia, penangkapan yang tidak prosedural dan berujung pada
penganiayaan sungguh sangat disayangkan. "Apalagi, yang dilakukan itu
membuat trauma korban, keluarga dan tetangga hingga hampir terjadi
kerusuhan," katanya.

Dijelaskan dia, menurut pasal 18 KUHAP penangkapan harus dilakukan
dengan menunjukkan surat perintah. Karenya, dia merasa heran dengan
kasus di Kediri ini.
"Masak korban sampai menyangka bahwa ia sedang dirampok karena aparat
berpakaian preman main gebuk dan todong senjata."

Dia mengingatkan bahwa semangat hari bhayangkara tahun ini adalah
memberikan layanan prima dan anti kekerasan. "Yang saya dengar
kejadiannya bukan cuman
salah tangkap, tetapi juga ada unsur penganiayaan, dimana korban
mengalami luka-luka bahkan dua giginya copot," ungkapnya.

Oleh karenanya, Aboebakar mengatakan, Propram perlu memeriksa delapan
petugas yang turun ke lapangan. Di sisi lain Kapolres Kediri harus
pula menjaga kondisi kamtibmas agar lingkungan di sekitar TKP
kondusif. "Soalnya saya dengar masyarakat sekitar masih emosi dengan
kejadian dini hari menjelang idul fitri tersebut," kata politisi PKS
itu. (boy/jpnn)

Sabtu, 18 Agustus 2012

Di Bulan Suci Kok Malah Korupsi

Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
diminta meninjau ulang setiap putusan yang diberikan oleh dua hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berinisial KM dan HK, yang ditangkap
oleh KPK hari ini. Putusan-putusan tersebut dikhawatirkan tidak
objektif.

"Ini kan bulan suci, waktunya orang beribadah dan mohon ampun. Lha ini
kok malah korupsi, apalagi pelakunya para hakim. Mereka katanya wakil
Tuhan di muka bumi ini"
-- Aboe Bakar Al Habsy

KPK bersama tim dari Mahkamah Agung menangkap kedua hakim itu setelah
upacara HUT ke-67 Kemerdekaan RI di halaman Pengadilan Negeri (PN)
Semarang, Jumat (17/8/2012) pagi. KM merupakan hakim Tipikor Semarang
dan HK dari Pengadilan Tipikor Pontianak. HK tengah cuti untuk
merayakan Lebaran di Semarang.

Ketua Kelompok Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Komisi III DPR Aboe
Bakar Al Habsy merasa heran mengapa praktik korupsi masih saja
dilakukan di bulan Ramadhan. "Ini kan bulan suci, waktunya orang
beribadah dan mohon ampun. Lha ini kok malah korupsi, apalagi
pelakunya para hakim. Mereka katanya wakil Tuhan di muka bumi ini,"
kata Aboe Bakar.

Aboe Bakar mengapresiasi kerja KPK yang kembali menangkap tangan
lantaran dapat membuat shock therapy. Ia juga mengapresiasi para
pegawai KPK yang tetap berkonsentrasi memburu koruptor di tengah
kesibukan mudik Lebaran. "Asalkan nanti mereka jangan dituntut ringan
saja. Mereka kan hakim, mereka mempermainkan keadilan. Itu sama saja
mempermainkan amanah Tuhan," ujar Aboe Bakar.

Senin, 13 Agustus 2012

Tamatkan Ramadhan di Tanah Suci

INILAH.COM, Jakarta - Beragam cara orang mengekpresikan ibadah di bulan Ramadan. Sepuluh hari terakhir Ramadan menjadi puncak ibadah setahun sekali. Begitu juga dengan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar al-Habsy.

Sepuluh hari terakhir Ramadan diyakini umat Islam sebagai turunnya lailatul qadar (malam penentuan). Maka tak sedikit umat muslim memanfaatkan sepuluh hari terakhir Ramadan. Begitu juga dengan Aboe Bakar Al-Habsy yang memanfaatkan moment itu itu di Tanah Suci.

"Saya dan keluarga melaksanakan ibadah umrah pada sepuluh hari terakhir," kata Aboe melalui BlackBerry Messenger (BBM) kepada INILAH.COM, Jumat (10/8/2012).

Anggota Komisi Hukum DPR ini menuturkan selain karena waktunya yang istimewa, sepuluh hari terakhir Ramadan menjadi momentum berkumpulnya seluruh keluarga Aboe. "Semua anggota keluarga telah liburan," tutur Aboe.

Selama di Tanah Suci, Aboe menceritakan kegiatan yang kerap dilakukan berupa I'tikaf di Masjidil Haram. Politikus berdarah Arab ini meyakini selama sepuluh hari terakhir menjadi waktu mustajab untuk berdoa. "Apalagi dilaksanakan di tempat yang mustajab," cetus Aboe.

Pria yang kerap dipanggil "Habib" ini mengatakan selama di Tanah Suci, keluarga besarnya menjalankan tadarus, buka puasa serta sahur secara bersama-sama. "Hal yang jarang bisa dilakukan bila kami sedang di Jakarta, karena kesibukan masing-masing," cetus Aboe.

Selain menjadi ajang konsolidasi keluarga besarnya, Aboe juga menuturkan ibadah umroh selama Ramadan juga memperkuat persaudaraan sesama muslim. Banyaknya ummat Islam yang juga melaksanakan ibadah bersama di Masjidil Haram semakin memperkuat makna ukhuwah islamiyah.

"Meskipun berbeda negara, suku dan warna kulit. Hal ini menjadi pengalaman spiritual yang sangat luar biasa, semakin meneguhkan rasa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah," papar Aboe seraya menyebutkan ibadah umroh diakhiri dengan salat idul fitri di Madinah
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Kamis, 09 Agustus 2012

Penyelesaian Konflik KPK Versus Polri Bisa Bercermin Kepada Pemerintah Hongkong

Kisruh KPK dan Polri tidak cukup ditangani dengan mengerahkan
kementerian terkait atau membentuk tim tersendiri. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, (SBY), sepatutnya merespon cepat dengan memberikan
solusi dalam permasalahan ini.

Demikian disampaikan oleh anggota Komisi III DPR, Aboebakar Al-Habsyi
kepada SOROTnews.com, Selasa Malam (7/8/2012).

"Respon kita terhadap sebuah persoalan hukum memang cenderung lambat,
sengketa Polri dan KPK soal penanganan perkara di Korlantas ini tak
boleh dibiarkan berlarut, jangan sampai para koruptor bertepuk tangan
melihat persoalan ini," tegasnya.

Jika dibandingkan dengan isu melanda KPK Hongkong pada tahun 2005,
persoalan segera teratasi. Ketika itu,lanjut Aboebakar, KPK Hongkong
mendapatkan isu legalitas atas bukti hasil penyadapan yang dikumpulkan
oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC), dikarenakan
proses penyadapan yang belum ada prosedur yang legal.

Tidak lama berselang, kata Aboebakar, pada Agustus 2006, dikeluarkan
Interception and Covert Surveillance Ordinance (ICSO) untuk menjawab
persoalan ini.

"Jawaban atas persoalan hukum direspons sedemikian cepat, sehingga
permasalahan menjadi tuntas dan tidak terulang kembali. Persoalan
Polri dan KPK sebenarnya sudah mencuat pada tahun 2008 sehingga muncul
istilah Cicak Vs Buaya, namun persoalan ini tidak menemukan jalan
keluar yang tuntas untuk mensinergikan dua lembaga penegak hukum ini,"
cetusnya.

"Maka tidaklah mengherankan bila sekarang benih ini kembali muncul,
tak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi Cicak Vs Buaya jilid
II," pungkasnya.

Presiden Didesak Turun Tangan

Anggota Komisi III DPR, Aboebakar Alhabsy, mendesak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan langsung terkait polemik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri dalam penanganan kasus dugaan
korupsi simulator SIM di Korlantas Polri.

Dia menegaskan, Presiden SBY jangan hanya menugaskan Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) atau hanya
membentuk tim 8 seperti pada kasus cicak buaya dahulu.

Dia mengingatkan bahwa strategi nasional bukan semata berarti sebuah
dokumen tebal yang berisi peta pemberantasan korupsi. Lebih dari itu,
kata dia, strategi nasional adalah sebuah kemauan politik dari rezim
ini untuk melakukan pemberantasan korupsi yang meliputi tiga hal.
Yakni, penindakan, pencegahan, dan pendidikan publik tentang anti
korupsi.

"Tiga hal ini harus berkolaborasi, di bawah komando presiden,"
tegasnya, Rabu (8/8).

"Saya kira ini adalah solusi atas persoalan ini, namun hemat saya
beliau (presiden) harus turun langsung," kata Ketua DPP Partai
Keadilan Sejahtera bidang Advokasi dan Hukum itu.

Aboebakar menilai, diskusi antar pakar yang memertentangkan pasal atau
aturan tidak akan membuah hasil apa-apa. Dia beralasan karena mereka
hanya seorang pakar yang tidak punya kewenangan. "Hasilnya hanya
wacana dan wacana saja, bukan solusi," tegasnya.

Aboebakar menegaskan, bagaimanapun kewenangan di republik ini ada di
bawah presiden, kendati KPK bukan bertanggungjawab kepada presiden.
"Oleh karenanya, buat apa power yang sedemikian besar bila tidak
dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang demikian,"
ujarnya.

Lebih jauh dia menegaskan sengketa Polri dan KPK soal penanganan
perkara di Korlantas Polri itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
"Jangan sampai para koruptor bertepuk tangan melihat persoalan ini,"
bebernya. (boy/jpnn)

Ada Dua Kemungkinan Mengapa Bambang Widjojanto Balik Badan

Perkataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal akan ada
tersangka dari menteri aktif nampak tidak sedang berkelakar atau
sedang bercanda. Apalagi bila dilihat dari konteks diskusi dan di saat
yang sama awak media ingin mendalami persoalan yang masih direspon
Bambang.

"Bila saya perhatikan pemberitaan di media, saya tidak yakin apa yang
disampaikan oleh Mas Bambang itu sekedar candaan atau juga keseleo
lidah," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Aboebakar Alhabsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat
lalu (Kamis, 9/8).

Menurut Aboebakar, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya memang ada
upaya untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
menteri aktif, dan bisa saja KPK masih butuh waktu untuk
mengungkapnya. Namun bila hari ini ada klarifikasi bahwa itu tidak
benar atau sekeder candaan saja, maka ada dua kemungkinan yang
terjadi.

Pertama, kata Aboebakar, bisa jadi setelah statement Bambang itu ada
pihak-pihak yang merasa terancam, sehingga melakukan preasure ke KPK,
dan akibatnya KPK balik badan. Kedua, bisa jadi Bambang baru sadar apa
yang disampaikannya itu bisa mengganggu jalannya penyidikan sehingga
harus diralat sebagai bagian dari strategi penyidikan yang dilakukan.

"Yang jelas, kemampuan seseorang untuk membangun komunikasi kepada
publik menunjukkan kualitas dari yang bersangkutan. Saya harap ke
depan tidak terjadi lagi hal-hal yang demikian karena akan bisa
mengundang spekulasi di publik ataupun dapat mengganggu jalannya
penyidikan," tegas Aboebakar, yang juga Ketua DPP PKS bidang hukum dan
advokasi.

Aboebakar juga menegaskan bahwa semua pihak sepakat dan ingin agar
aparat penegak hukum seperti KPK lebih banyak aksi daripada
publisitas. Dan komisioner KPK tak perlu melempar janji, candaan atau
apapun yang berkaitan dengan penyidikan.

"Kalau yang terjadi kayak gini lantas apa bedanya dengan infotaiment,"
demikian Aboebakar.

'Early Warning' buat Parpol Islam

Hasil jajak pendapat Centre for Strategic and International Studies
(CSIS) dinilai menjadi peringatan bagi partai politik berideologi
Islam. Hasil survei itu menyebut parpol berideologi Islam belum dapat
lolos electoral threshold atau ambang batas perolehan kursi di
parlemen sebesar 3,5 persen.

"Ini adalah early warning buat partai Islam. Ini merupakan pertanda
zaman yang meminta kita untuk selalu berbenah," kata politisi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsy di Gedung Kompleks
Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (9/8/2012).

Sebelumnya, hasil survei CSIS menunjukkan elektabilitas empat parpol
Islam belum melampaui ambang batas parlemen 3,5 persen. Empat parpol
itu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (3 persen), Partai Kebangkitan
Bangsa (2,8 persen), Partai Keadilan Sejahtera (2,2 persen), dan
Partai Amanat Nasional (2 persen).

Aboe Bakar mengatakan, jika mengacu pada pemilu yang pernah ada,
perolehan suara parpol Islam secara kolektif relatif naik turun. Pada
pemilu pertama tahun 1955, kata dia, parpol Islam meraup 45,13 persen
suara. Pada Pemilu 1971 atau di pemilu pertama di Orde Baru, perolehan
suara parpol Islam 27,11 persen.

Lalu pada tahun 1999 atau di pemilu pertama di masa reformasi,
perolehan suara parpol Islam mencapai 37 persen. Dukungan kemudian
naik di Pemilu 2004 menjadi 38,1 persen. Setelah itu turun drastis di
Pemilu 2009 dengan angka 23,1 persen.

"Naik turunnya suara partai dalam kancah pemilu adalah hal yang
lumrah. Setiap partai pasti memiliki zaman keemasan sendiri. Suatu
saat memang akan mengalami puncak dan di saat lain akan turun," kata
anggota Komisi III DPR itu.

Aboe Bakar menambahkan, untuk mengatasi masalah itu, pihaknya tengah
meningkatkan ketokohan para kadernya agar bisa meraup suara. Menurut
dia, tidak terlalu rumit untuk menarik suara asalkan para politisi
selalu menjaga integritas, moralitas, dan profesionalisme.

"Soal koalisi parpol Islam sangat mungkin terjadi. Kita ini
dipersatukan dengan ukhuwah islamiah. PKS sangat terbuka bila memang
ada parpol yang hendak bergabung," pungkas Aboe Bakar.

Rabu, 08 Agustus 2012

Aboebakar: Presiden harusnya beri solusi KPK vs Polri

nggota Komisi III DPR, Fraksi PKS, Aboebakar Al Habsy menilai, kisruh
KPK dan Polri tidak cukup ditangani dengan mengerahkan kementerian
terkait atau membentuk tim tersendiri. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, (SBY), sepatutnya merespon cepat dengan memberikan solusi
dalam permasalahan ini.
"Respon kita terhadap sebuah persoalan hukum memang cenderung lambat,
sengketa Polri dan KPK soal penanganan perkara di Korlantas ini tak
boleh dibiarkan berlarut, jangan sampai para koruptor bertepuk tangan
melihat persoalan ini," kata Aboebakar, Selasa, (7/8), di Jakarta.
Ia menyatakan, jika dibandingkan dengan isu melanda KPK Hongkong,
pada tahun 2005, persoalan segera teratasi. Ketika itu, KPK Hongkong
mendapatkan isu legalitas atas bukti hasil penyadapan yang dikumpulkan
oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC), dikarenakan
proses penyadapan yang belum ada prosedur yang legal.
Tidak lama berselang pada Agustus 2006, lanjut Aboebakar, dikeluarkan
Interception and Covert Surveillance Ordinance (ICSO) untuk menjawab
persoalan ini.
"Jawaban atas persoalan hukum direspons sedemikian cepat, sehingga
permasalahan menjadi tuntas dan tidak terulang kembali. Persoalan
Polri dan KPK sebenarnya sudah mencuat pada tahun 2008 sehingga muncul
istilah Cicak Vs Buaya, namun persoalan ini tidak menemukan jalan
keluar yang tuntas untuk mensinergikan dua lembaga penegak hukum ini,"
kata Aboebakar.
"Maka tidaklah mengherankan bila sekarang benih ini kembali muncul,
tak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi Cicak Vs Buaya jilid
II," tuntasnya.

PKS: Presiden Perlu Turun Tangan Selesaikan Masalah KPK-Polri

PKS meminta Presiden SBY harus segera turun tangan menyelesaikan
masalah KPK-Polri. Hanya ketegasan Presiden SBY yang bisa menuntaskan
masalah ini sebelum dampaknya meluas.

"Strategi nasional adalah sebuah kemauan politik dari rezim ini untuk
melakukan pemberantasan korupsi yang meliputi tiga hal yakni
penindakan, pencegahan, dan pendidikan publik tentang anti korupsi.
Tiga hal ini harus berkolaborasi,di bawah komando presiden. Saya kira
ini adalah solusi atas persoalan ini, namun hemat saya beliau harus
turun langsung, jangan hanya menugaskan Menko Polhukam, atau hanya
membentuk tim 8 seperti pada kasus cicak buaya dahulu," papar anggota
Komisi III DPR dari PKS, Aboe Bakar, kepada wartawan di Gedung DPR,
Senayan,Jakarta, Selasa (7/8/2012).

Menurut Aboe, respon pemerintah terhadap sebuah persoalan hukum memang
cenderung lambat. Sengketa Polri dan KPK soal penanganan perkara di
Korlantas ini tak boleh dibiarkan berlarut. Jangan sampai, lanjut Aboe, para
koruptor bertepuk tangan melihat persoalan ini.

"Persoalan Polri dan KPK sebenarnya sudah mencuat pada tahun 2008
sehingga muncul istilah Cicak Vs Buaya, namun persoalan ini tidak
menemukan jalan keluar yang tuntas untuk mensinergikan dua lembaga
penegak hukum ini. Maka tidaklah mengherankan bila sekarang benih ini
kembali muncul, tak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi Cicak Vs
Buaya jilid II," ujarnya.

Sebenarnya, menurut Aboe, persoalan serupa juga terjadi di Hong Kong
sekitar tahun 1977. Saat itu ICAC melakukan operasi besar-besaran
pembersihan korupsi di tubuh kepolisian Hong Kong. Tapi rupanya apa
yang dilakukan ICAC itu berbuah kemarahan polisi korup.

Pada saat itu para penyidik ICAC menuai teror dan intimidasi dalam
menjalankan tugasnya. Puncaknya para polisi korup menyerbu dan
melempari kantor ICAC. Padahal kondisinya tak jauh beda dengan
Indonesia, diamana ICAC
juga diisi oleh polisi.

"Langkah apa yang dilakukan? Pertama, adanya dukungan penuh dan
political will dari Gubernur Hong Kong, saat itu masih dikuasai
Inggris, untuk mendukung pemberantasan korupsi di Hong Kong. Kedua,
Gubernur Hong Kong mengeluarkan amnesti yaitu bagi mereka yang
melakukan korupsi sebelum tahun 1977 akan diampuni. Ketiga, bahwa para
polisi yang bergabung di ICAC telah sudah disumpah untuk berintegritas
dan memberantas korupsi. Hingga akhirnya, Kebijakan Gubernur itu pun
berimbas positif. Berangsur kemudian, kepolisian Hong Kong mereformasi
diri. Mereka yang korup dipecat dan dipenjarakan," beber Aboe.

Lantas bagaimana di Indonesia, sudahkan presidennya turun langsung
memimpin pemberantasan korupsi? Sudahkan pemberantasan korupsi itu
dimulai dari halaman istana? Sudahkan diberkahi keberanian dan
ketegasan dalam perang melawan korupsi?

"Saya kira diskusi antar pakar yang mempertentangkan antar pasal atau
pun antar aturan tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kenapa? Karena
mereka hanya seorang pakar yang tidak punya kewenangan, hasilnya hanya
wacana dan wacana, bukan solusi. Bagaimana pun kewenangan di republik
ini ada di bawah presiden (meski KPK tidak ada di bawah presiden),
oleh karenanya buat apa power yang sedemikian besar bila tidak
dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang demikian.
Jangan sampai telat, dan juga jangan parsial, jangan sampai nanti ada
Cicak-buaya jilid II atau jilid III dan seterusnya," tandasnya.

PKS: Cicak Versus Buaya Pun Sempat Terjadi di Hong Kong

Kejadian cicak melawan buaya yang terjadi di Indonesia bukanlah hal
yang baru. Pasalnya, kejadian seperti ini pernah terjadi di Hong Kong.

Demikian disampaikan anggota DPR RI asal Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Aboe Bakar Al Habsyi dalam diskusi yang disiarkan TV One, malam
ini.

"Ini tak jauh beda dengan kejadian di Hong Kong. Malah, di sana,
KPK-nya sempat dilempar oleh polisi," kata Aboe.

Nah, yang kemudian terjadi, Gubernur Hong Kong langsung turun tangan
dalam kasus ini. Ini yang kemudian membedakan kasus ini di Indonesia,
Presiden SBY sebagai pemegang kekuasaan malah memberikan mandat kepada
Menko Polhukam Djoko Suyanto agar KPK dan Polri duduk bareng
menyelesaikan masalah.

PKS: Mau Tak Mau SBY Harus Turun Tangan Atasi Sengketa Polri dan KPK

Sengketa Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan
kasus simulator surat izin mengemudi (SIM) jangan sampai
berlarut-larut sehingga membuat para koruptor bertepuk tangan. Dalam
hal ini, Indonesia harus meniru KPK Hongkong yang pada tahun 2005
mendapatkan isu legalitas atas bukti hasil penyadapan yang dikumpulkan
oleh ICAC, yang dikarenakan proses penyadapan yang belum ada prosedur
yang legal. Tak lama berselang, pada Agustus 2006 dikeluarkan lah
Interception and Covert Surveillance Ordinance (ICSO) untuk menjawab
persoalan ini.

"Jawaban atas persoalan hukum direspons sedemikian cepat, sehingga
permasalahan menjadi tuntas dan tidak terulang kembali. Persoalan
Polri dan KPK sebenarnya sudah mencuat pada tahun 2008 sehingga muncul
istilah Cicak Vs Buaya, namun persoalan ini tidak menemukan jalan
keluar yang tuntas untuk mensinergikan dua lembaga penegak hukum ini.
Maka tidaklah mengherankan bila sekarang benih ini kembali muncul, dan
tak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi Cicak Vs Buaya jilid
II," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Aboebakar Alhabsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat
lalu (Selasa, 7/8).

Sebenarnya, ungkap Aboebakar, persoalan serupa ini juga pernah terjadi
di Hongkong sekitar tahun 1977. Saat itu ICAC melakukan operasi
besar-besaran dan pembersihan korupsi di tubuh kepolisian Hong Kong.
Tapi rupanya apa yang dilakukan ICAC itu berbuah kemarahan polisi
korup. Pada saat itu para penyidik ICAC menuai teror dan intimidasi
dalam menjalankan tugasnya, dan puncaknya para Polisi korup menyerbu
dan melempari kantor ICAC.

Aboebakar bakar melihat persoalan di Hongkong itu cepat selesai karena
mendapat dukungan penuh dan political will dari Gubernur Hong Kong,
yang saat itu masih dikuasai Inggris. Selain itu, Gubernur Hongkong
mengeluarkan amnesti, bagi mereka yang melakukan korupsi sebelum tahun
1977. Ketiga, polisi yang bergabung di ICAC telah disumpah untuk
memiliki integritas dan memberantas korupsi. Akhirnya, kebijakan
Gubernur itu pun berimbas positif dan secara berangsur polisi Hong
Kong mereformasi diri, dengan memecat dan memenjarakan polisi yang
korup.

"Lantas bagaimana di Indonesia, sudahkan Presidennya turun langsung
memimpin pemberantasan korupsi? Sudahkan pemberantasan korupsi itu
dimulai dari halaman Istana? Sudahkan dibenahui keberanian dan
ketegasan dalam perang melawan korupsi," kata Aboebakar, sambil
mengatakan bahwa diskusi antar pakar yang mempertentangkan antar pasal
ataupun antar aturan tidak akan membuahkan hasil apa-apa karena
merekatidak punya kewenangan, dan hasilnya hanya menjadi wacana saja.

"Bagaimanapun kewenangan di republik ini ada di bawah Presiden, meski
KPK tidak ada di bawah presiden. Oleh karena itu, buat apa power yang
sedemikian besar bila tidak dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan
bangsa. Hemat saya beliau harus turun langsung, jangan hanya
menugaskan Menko Polhukam, atau hanya membentuk Tim Delapan seperti
pada kasus Cicak dan Buaya dahulu," demikian Aboebakar

Rabu, 01 Agustus 2012

Kasus Ogan Ilir, Kinerja Brimob Akan Diaudit

Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar
Al-Habsy, meminta kinerja Brimob segera diaudit secara menyeluruh.
Banyaknya aksi kekerasan terhadap masyarakat yang melibatkan anggota
Brimob, menurut dia, adalah indikasi bahwa kesatuan ini kurang
berhasil menerapkan semangat anti kekerasan dan pelayanan prima sesuai
janji Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
"Karena itu, perlu ada audit kinerja atas operasi yang dilakukan
Brimob, atas permintaan siapa dan dibiayai dari anggaran mana," kata
Aboe Bakar pada Senin 30 Juli 2012.

Jumat 27 Juli 2012 alu, sejumlah pasukan Brimob Polda Sumatera Selatan
melakukan aksi sweeping di Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Sumatera Selatan. Operasi dilakukan setelah adanya tudingan
pencurian pupuk milik PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis oleh
masyarakat. Aksi ini berakhir kisruh dan menewaskan Angga bin Darmawan
(12) yang tertembak di kepala. Empat orang lainnya pun terluka parah
terkena tembakan.

Aboe Bakar mengatakan, Kapolri harus mendapatkan penjelasan dari
pimpinan Brimob mengenai tragedi ini. Politikus PKS ini mengaku
mencium adanya aroma kekuatan uang di balik pengerahan Brimob.

Aboe Bakar mengaku heran dengan cara kerja Polri yang mengedepankan
tindakan represif. Menurut dia, Polri seharusnya tak perlu menurunkan
pasukan Brimob hanya untuk menghadapi warga masyarakat. Selain itu,
Polri juga dianggap tak mendengarkan rekomendasi Komnas HAM dalam
penanganan masalah seperti ini.

DPR Desak Polri tidak Persulit Kinerja KPK

Pelakunya dapat dikenakan pasal menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi.

Anggota Komisi III DPR Aboebakar Alhabsy mendesak Kepolisian RI untuk
tidak mempersulit proses penyidikan dugaan korupsi pada pengadaan
simulator SIM oleh KPK, yang diduga melibatkan DS, jenderal aktif
Polri.

Politisi asal Partai Keadilan Sosial (PKS) itu mengatakan dirinya agak
prihatin ketika mendengar adanya upaya penghalangan dari Polri
terhadap penyidik KPK yang hendak menggeledah ruangan terkait
penyidikan kasus itu.

"Perlu diingat bahwa negara kita adalah negara hukum, jadi semua tugas
harus dijalankan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Harus
disadari pula bahwa kita semua sama kedudukannya di muka hukum, tidak
ada seorangpun yang kebal hukum di republik ini, meskipun dia penegak
hukum," tegas Aboebakar di Jakarta, hari ini.

Dia melanjutkan, bila memang tugas penyidik KPK sudah dilaksanakan
sesuai dengan prosedur KUHAP, seharusnya tidak ada seorangpun yang
boleh menghalang-halanginya, meskipun itu penegak hukum.

Apabila penghalangan itu dilakukan, menurutnya, hal itu merupakan
tindak pidana tersendiri dimana pelakunya dapat dikenakan pasal
menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi.

"Keberadaan tiga pimpinan KPK dan Kabareskrim saat penggeledahan
memang membawa spekulasi tersendiri bagi masyarakat. Karenanya dirasa
perlu Komisi III DPR meminta penjelasan soal ini," kata dia.

Secara terpisah, mantan ketua Komisi III DPR yang juga ketua
departemen hukum DPP Partai Demokrat, Benny K. Harman, menyatakan DPP
PD sangat menyesal dan mengutuk keras langkah Polri yang telah
menyandera penyidik KPK yang tengah menjalankan tugasnya membongkar
kejahatan yang terjadi di gedung Korlantas.

Benny mengatakan hal itu sangat memperlihatkan betapa Polri sangat
tidak koperatif dlam memberantas korupsi di tubuh Polri. "DPP PD
meminta KPK untuk terus membongkar kejahatan di gedung korlantas.
Sudah lama tempat ini ditengarai sebagai sarang korupsi di institusi
kepolisian," kata Benny.

Dia juga menyatakan pihaknya meminta Kapolri segera turun tangan
dengan menindak anggota yang melakukan tindakan tidak terpuji
tersebut dan membuka akses bagi KPK untuk membongkar tuntas dugaan
korupsi yang terjadi di lembaga tersebut.

Komisi Hukum Sesalkan Bila Penggeledahan KPK di Korlantas Dihalang-halangi

Terdengar kabar bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dihalangi-halangi saat menggeledah Korps Lalu Lintas (Korlantas)
Polri, di Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur pagi ini. Beredar
kabar pula bahwa KPK tidak diijinkan menyita dokumen sebagai barang
bukti.

"Bila berita ini benar bukan hanya akan mencoreng institusi Polri,
namun ini juga suatu bentuk pelanggaran hukum," kata anggota Komisi
III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Alhabsy,
kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Selasa, 31/7).

Menurut Aboebakar, bila memang tugas penyidik KPK sudah dilaksanakan
sesuai dengan prosedur
KUHAP, seharusnya tidak ada seorangpun yang boleh
menghalang-halanginya, meskipun itu penegak hukum. Dan bila itu
dilakukan maka itu merupakan tindak pidana tersendiri dan pelakunya
dapat dikenakan pasal menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi.

"Persoalan penggeledahan dan penyitaan dokumen di Korlantas ini akan
menjadi batu uji komitmen polri dalam pemberantasa korupsi, dan di
sisi lain lain akan menunjukkan sejauhmana keberanian dan integritas
KPK dalam menjalankan tugasnya," tegas Aboebakar.

Namun lebih penting diantara keduanya, lanjut Aboebakar, aspek
profesionalisme dalam menjalankan tugas serta koordinasi antar lembaga
tidak boleh ditinggalkan. Keberadaan tiga pimpinan KPK dan Kabareskrim
saat penggeledahan memang membawa spekulasi tersendiri bagi
masyarakat.

"Karenanya dirasa perlu Komisi III meminta penjelasan soal ini,"
demikian Aboebakar

Presiden Diminta Tegur Polri karena Halangi Penggeledahan KPK

Komisi III DPR perlu mempertanyakan alasan Polri menghalang-halangi
aparat Komisi Pemberantasan Korupsi saat menggeledah di gedung Korps
Lalu Lintas Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (30/7)
hingga Selasa (31/7). Jika benar, sikap Polri termasuk melanggar
hukum.

"Saya sangat prihatin ketika mendengar penyidik KPK sulit masuk dan
sulit keluar saat menjalankan tugasnya, sampai-sampai para ketua harus
turun tangan ke lapangan. Demikian pula beredarnya berita bahwa KPK
tidak diizinkan menyita dokumen sebagai barang bukti," kata anggota
Komisi III DPR Aboe Bakar Al-Habsy kepada wartawan, Selasa (31/7).

Penyidik KPK menggeledah gedung Korps Lalu Lintas Polri terkait kasus
dugaan korupsi simulator Surat Izin Mengemudi. Politikus Partai
Keadilan Sejahtera Al-Habsy meminta KPK dan Polri mengedepankan
profesionalisme.

Indonesia negara hukum karena itu semua lembaga harus taat dan tidak
ada yang kebal terhadap hukum. Mestinya, kata Al-Habsy, Polri tidak
boleh menghalang-halangi bila para penyidik KPK sudah melaksanakan
tugas sesuai prosedur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Penggeledahan dan penyitaan dokumen di Korlantas ini, kata Al-Habsy,
akan menjadi batu uji komitmen Polri dalam pemberantasan korupsi.
Sementara bagi KPK akan terlihat sejauhmana keberanian dan integritas
lembaga tersebut menjalankan tugasnya.

"Keberadaan tiga pimpinan KPK dan Kabareskrim Polri saat penggeledahan
memang membawa spekulasi tersendiri bagi masyarakat, karenanya dirasa
perlu Komisi III meminta penjelasan soal ini," kata Al-Habsy.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR lainnya Eva Kusuma Sundari
menyatakan sepatutnya Polri menunjukkan kedewasaan dengan tidak
menghalangi penegakan hukum yang tengah dijalankan KPK. Apalagi hingga
menahan penyidik beserta dokumen yang sudah ditemukan.

"Sepanjang permasalahannya teknis (surat perintah, izin dan
sebagainya). Jika alasannya politis, misalnya ego-sektoral, sepatutnya
semua K/L seirama dalam langkah pemberantasan korupsi sebagaimana
diperintahkan oleh Presiden SBY," kata Eva.

Politikus PDI Perjuangan ini menyarankan agar Presiden mengingatkan
kepolisian untuk berlaku patut dan menghormati wewenang KPK. Sebab,
usaha menghalangi itu menimbulkan dugaan bahwa polisi menerapkan
standar ganda dalam penegakkan hukum. Termasuk tebang pilih.

"Kapolri harus menjadikan ini momentum untuk penegakkan kewibawaan
kepolisian setelah pukulan ber-tubi-tubi akibat kinerja yang tidak
memuaskan rakyat. Jadi, stop berperilaku sewenang-sewang dan tunjukkan
sikap kooperatif dan serahkan semua pada proses hukum," kata Eva.
(Andhini)

Komisi III: Halangi Penyidikan KPK, Bisa kena Jerat Hukum

Tindakan petugas jaga di kantor Kops Lalu Lintas Polri yang
menghalangi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan
penggeledahan dan penyitaan dokumen bisa dijerat dengan tindak pidana
korupsi.

"Bila memang tugas penyidik KPK sudah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur KUHAP, seharusnya tidak ada seorangpun yang boleh
menghalang-halanginya, meskipun itu penegak hukum. Bila ini dilakukan
itu merupakan tindak pidana tersendiri, pelakunya dapat dikenakan
pasal menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi," ujar Anggota
Komisi III dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsyi,
saat dihubungi, Selasa (31/7).

Abu Bakar menyayangkan tindakan polisi tersebut yang menurutnya akan
mencoreng citra Polri. "Demikian pula beredarnya berita bahwa KPK
tidak diijinkan menyita dokumen sebagai barang bukti, bila berita ini
benar bukan hanya akan mencoreng institusi Polri namun ini juga suatu
bentuk pelanggaran hukum," ujarnya.

Seperti diketahui penyidik KPK yang melakukan penggeledahan di gedung
Kops Lantas Polri, Jalan MT Haryono dikabarkan mendapatkan tekanan
dari polisi jaga. Penyidik KPK bahkan sempat tidak diperbolehkan
keluar untuk membawa dokumen.

KPK sendiri telah menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka. Djoko
diduga menerima suap dan melakukan penggelembungan harga saat menjabat
sebagai Kepala Kops Lantas tahun 2011. Kasus ini juga diklaim Telah
ditangani Bareskrim Polri.

Halangi tugas KPK, polisi melanggar hukum

Tindakan anggota Polri yang disebut-sebut menghalang-halangi penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat akan melakukan penggeledahan
di Kantor Korlantas Polri menuai banyak kecaman. Anggota Komisi III
DPR Aboe Bakar Al-Habsyi menyayangkan tindakan anggota Polri itu dalam
upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK.

"Saya sangat prihatin ketika mendengar penyidik KPK sulit masuk, dan
sulit keluar saat menjalankan tugasnya. Sampai-sampai para ketua harus
turun tangan ke lapangan," kata Aboe Bakar saat dihubungi wartawan di
Jakarta, Selasa (31/7/2012).

Dia mengungkapkan, aksi anggota Polri itu justru akan mencoreng
kewibaan institusi Polri sendiri. Apalagi, tindakan menghalang-halangi
tersebut masuk dalam tindakan yang melanggar hukum.

"Bila memang tugas penyidik KPK sudah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur KUHAP, seharusnya tidak ada seorang pun yang boleh
menghalang-halangi, meskipun itu penegak hukum," ujarnya.

Maka itu, pihaknya selaku anggota Komisi III DPR akan meminta KPK dan
Polri mengedepankan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya sebagai
penegak hukum. "Harus disadari, kita semua sama kedudukannya di muka
hukum. Tidak ada seorangpun yang kebal hukum di negara ini, meskipun
dia penegak hukum," tandasnya.

DPR: Kapolri Agar Kooperatif Soal Korupsi Korlantas

POLITISI Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma
Sundari meminta agar Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo bersikap
kooperatif terkait penyelidikan atas anak buahnya yang terjerat kasus
korupsi. "Saya kira Kapolri untuk menunjukkan sikap kooperatif," kata
Anggota Komisi III DPR tersebut kepada wartawan saat di Gedung DPR
Jakarta, Selasa (31/7).

Menurutnya, adanya kasus ini justru kesempatan bagi kepolisian untuk
melakukan perbaikan. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri
Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo resmi ditetapkan sebagai tersangka
kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan mobil di
Korlantas Mabes Polri tahun anggaran 2011.

KPK menemukan adanya kerugian negara puluhan miliar akibat
penyalahgunaan kewenangan jabatan tersebut. Djoko, saat ini sebagai
Gubernur Akademi Polisi, dijerat Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perwira polisi berpangkat bintang
dua itu terancam dipidana dengan hukuman penjara paling lama 20 tahun.

Eva mengatakan, selama ini reformasi di kepolisian sudah berlangsung,
akan tetapi reformasi kulturnya yang belum berjalan. "Evaluasi kinerja
kepolisian. (Ini) harus ada tindakan," katanya.

Menyangkut tertahannya penyidik KPK selama 8 jam saat penggeledahan
disesalkan beberapa anggota dewan. Politisi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Aboe Bakar Al-Habsy menyesalkan kejadian tersebut. "Bila berita
ini benar, bukan hanya akan mencoreng institusi Polri namun ini juga
suatu bentuk pelanggaran hukum," kata anggota Komisi III DPR tersebut.

Menurutnya, bila hal itu dilakukan termasuk tindak pidana tersendiri,
pelakunya dapat dikenakan pasal menghalang-halangi upaya pemberantasan
korupsi. "Persoalan penggeledahan dan penyitaan dokumen di Korlantas
ini akan menjadi batu uji komitmen Polri dalam pemberantasan korupsi,"
katanya.

Di sisi lain, katanya, hal itu juga menunjukkan sejauhmana keberanian
dan integritas KPK dalam menjalankan tugasnya.

Sementara itu, politisi Demokrat Benny K Harman menilai tertahannya
para penyidik KPK memperlihatkan Polri sangat tidak koperatif dalam
memberantas korupsi di tubuh Polri. "Partai Demokrat meminta KPK untuk
terus membongkar kejahatan di Gedung Korlantas. Sudah lama tempat ini
ditengarai sebagai sarang korupsi di institusi kepolisian," kata
Benny.

Menghalangi Kerja KPK adalah Tindakan Pidana

Peristiwa Penggeledahan di Markas Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas
Polri) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai menjadi
ujian bagi pimpinan KPK, sejauh mana keberanian dan integritas dalam
menjalankan tugasnya. KPK harus berani bertindak tegas atas peristiwa
penyanderaan para penyidik hingga pimpinan KPK.

"Peristiwa itu bukan hanya mencoreng Polri. Ini juga suatu bentuk
pelanggaran hukum," kata Ketua Kelompok Fraksi PKS di Komisi III DPR
Aboe Bakar Al Habsy ketika dihubungi pada Selasa (31/7/2012).

Hal itu dikatakan Aboe Bakar ketika dimintai tanggapan terkait sikap
Kepolisian yang tak mengizinkan sekitar 10 penyidik KPK keluar seusai
menggeledah Markas Korlantas Polri. Pada penggeledahan kali ini,
penyidik KPK menemukan semua dokumen asli, termasuk aliran dana yang
mengarah ke pejabat Korlantas.

Penggeledahan itu terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator
kendaraan roda dua dan roda empat di Korlantas Polri tahun 2011. Tak
hanya tertahan, pihak KPK juga bahkan sempat tak diizinkan membawa
seluruh dokumen hasil penggeledahan.

Aboe Bakar mengatakan, bila pihak KPK sudah melaksanakan penggeledahan
sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP, maka siapa pun,
termasuk aparat penegak hukum sekalipun, tidak boleh
menghalang-halangi.

"Bila ini dilakukan (merintangi), itu merupakan tindak pidana
tersendiri. Pelakunya dapat dikenakan pasal menghalang-halangi upaya
pemberantasan korupsi," kata Aboe Bakar.

Ketua DPP Demokrat Bidang Hukum Benny K Harman mengatakan, pihaknya
sangat menyesalkan dan mengutuk keras sikap Kepolisian yang sangat
tidak kooperatif dalam pemberantasan korupsi di tubuh Polri. Kepala
Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, kata dia, harus segera turun
tangan menindak anggota yang melakukan tindakan tak terpuji itu.

"DPP Partai Demokrat meminta KPK untuk terus membongkar kejahatan di
Gedung Korlantas. Sudah lama tempat itu ditengarai sebagai sarang
korupsi di institusi Kepolisian," kata mantan Ketua Komisi III bidang
Hukum DPR itu.