This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 15 November 2011

DPR-RI Minta Tipikor Tidak Dibubarkan

Anggota komisi III DPR-RI, Habib Aboe Bakar Al Habsyie dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyarankan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah agar jangan dibubarkan.

"Sebab kalau semua tindak pidana korupsi di daerah penanganannya oleh Pengadilan Tipikor di Jakarta, bisa 'over lot' dan terjadi antrean panjang, untuk penyelesaian kasus tersebut," katanya di Banjarmasin, Sabtu.

Oleh karenanya, keberadaan pengadilan Tipikor di daerah-daerah, guna mempercepat penanganan proses tindak pidana korupsi di daerah dan tak perlu antre di Jakarta serta menggunakan pembiayaan transpor yang mahal, lanjutnya.

Saran anggota DPR-RI dari PKS asal daerah pemilihan (Dapil) Kalsel itu, menanggapi statmen Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, Mahfud MD serta polemik mengenai perlu atau tidaknya pengadilan Tipikor di daerah.

Pengadilan Tipikor di daerah yang terkesan masih lemah, seperti kejadian di Banjarmasin, seorang terdakwa kasus tindak pidana korupsi lolos dari jerat hukum, yaitu Majelis Hakim Pengadilan Tipikor setempat memvonis bebas.

Menurut anggota Komisi III DPR-RI yang juga membidangi hukum itu, persoalan lolosnya terdakwa tindak pidana korupsi di pengadilan Tipikor, bukan menjadi alasan mendasar untuk membubaskan lembaga peradilan khusus yang sudah diatur dalam perundang-undangan.

Guna menghindari dugaan terjadi kolusi atau main "kong-kalingkong" dalam mengadili tindak pidana korupsi di daerah, anggota DPR-RI dua periode dari PKS itu, menyarankan, mungkin dalam sistem rekrutmen hakim pengadilan Tipikor yang perlu pembenahan atau penyempurnaan.

"Mungkin pula dari sistem hakim majelis tersebut, diantaranya didatangkan dari Jakarta. Misalnya kalau tiga orang, maka dua diantaranya dari Jakarta," saran wakil rakyat dari PKS yang terkenal akrab dengan wartawan itu.

Ia sependapat dengan Prof H Ideham Zarkasi, Guru Besar pengasuh bidang studi hukum pidana Fakultas Hukum Univeristas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, agar dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengena dan kuat.

"Karena sebagaimana perkiraan mantan Dekan Fakultas Hukum Unlam itu, lolosnya terdakwa tindak pidana korupsi dari jerat hukum di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, sebabkan dakwaan JPU yang memang lemah," demikian Habib Aboe.

PKS Apatis Kasus Nazaruddin Akan Seret Tokoh Penting

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera menduga kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang, Sumatera Selatan, yang sudah menetapkan mantan Muhammad Nazaruddin sebagai tersangka, sudah masuk angin.

Penanganannya, menurut Ketua DPP PKS Bidang Advokasi Dan HAM, Aboebakar Alhabsy, hanya akan berhenti sebatas Nazar saja, karenanya penanganannya jalan di tempat.

"Banyak kawan yang juga meyakini hal ini. Saya lihat perkara Nazar banyak bersinggungan dengan orang penting, makanya kita apatis atas penyelesaian perkara ini. Bila memang ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Kapolri, saya kira perkara ini harus ditangani KPK, proses harus dilakukan secara profesional, akuntabel, dan transparan, jangan sampai ada kongkalikong," ujarnya, Senin (14/11/2011).

"Kita tak ingin kasus Nazaruddin diselesaikan secara undertable karena ini sudah menjadi perhatian publik," Aboebakar menegaskan.

Sebelumnya, Ketua KPK Busyro Muqodas sudah berani memastikan, akan ada tersangka baru dalam kasus Muhammad Nazaruddin ini. Namun, Busyro belum berani mengungkap secara jelas, siapa politisi yang akan dijadikan tersangka.

Jumat, 11 November 2011

Faximile Menteri Amir Syamsuddin Bikin Empat Napi di Martapura Batal Bebas

RMOL. Beberapa narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Martapura, Kalimantan Selatan, mengeluh karena ada faximile dari Menteri hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Isi faximile itu berisi moratorium remisi, sehingga narapidana tersebut batal menghirup udara bebas.

"Inilah bukti diskresi Amir Syamsuddin telah memakan korban. Masak orang dapat dirampas kemerdekaannya hanya dengan sebuah fax saja," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kepadaRakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Jumat, 12/11).

Aboebakar mengaku hal ini diketahuinya setelah mengunjungi Lapas Martapura, Kamis siang (10/11). Adapun narapidana yang terkena dampak kebijakan Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana ini adalah Putu, Zainal, Ery dan Tabrani.

"Kasihan mereka dan juga keluarga mereka. Seharusnya mereka bebas tanggal 5 November namun sampai sekarang masih harus dipenjara. Lantas dimana keadilan? Dimana kepastian hukum. Mereka ini korban politik pencitraan saja," tegas Aboe.

Secara prinsip, Aboe mengatakan sangat setuju dengan moratorium remisi buat koruptor dan teroris. Namun hal itu harus dilakukan secara konstitusional dan tidak melabrak UU.

Tata Kelola Lapas di Kalsel tak Manusiawi

Jakarta, PelitaOnline - Hasil Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi III DPR RI di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Martapura, Kalimantan Selatan menemukan ruang penjara yang tidak manusiawi. Di dalamnya terdapat jumlah napi telah melebihi kapasitas dari yang ditentukan.

“Saya lihat tata kelola Lapas perlu diperbaiki, memang sudah tidak kita temukan sel mewah ala Ayin, namun jumlah penghuni lapas sudah melampaui kapasitas yang ditentukan," kata anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar, Jumat (11/11).

Menurutnya, Lapas Martapura tersebut seharusnya hanya cukup untuk 183 orang. Namun pada kenyataannya dihuni oleh 698 orang, melebihi kapasitas hingga lebih dari 300 persen.

"Untuk blok perempuan yang seharusnya hanya dihuni 60 orang, ternyata harus menampung 133 orang napi perempuan. Demikian pula untuk blok anak-anak yang seharusnya hanya berkapasitas 30 orang harus menampung 66 napi anak," paparnya.

Aboe melihat hal itu sebagai pelayanan yang tidak manusiawi. “Lantas bagaimana mereka bisa tidur dengan wajar, bila satu kamar yang selayaknya hanya diisi lima atau enam orang harus menampung sembilan sampai 12 narapidana," jelas dia.

"Lapas ini sudah over kapasitas, tak layak lagi untuk menjamin pelayanan pemasyarakatan. Lapas adalah lembaga recovery, jadi aspek kewajaran dan kesehatan harus sangat diperhatikan. Jangan sampai ada perlakuan tak manusiawi kepada para penghuni Lapas," tegasnya.

Selain itu, Aboe juga memberikan apresiasi kepada para petugas Lapas Martapura, karena sudah secara terbuka mengungkapkan kebobrokan tata klola Lapas serta memberikan penjelasan secara riil.

"Saya bisa pahami bahwa persoalan over kapasitas adalah di luar kewenangan mereka. Kita berharap Dirjen Pemasyarakatan akan segera mencari solusi untuk persoalan ini," harapnya.

Lebih jauh Aboe menilai persoalan tata kelola Lapas masih menjadi persoalan utama bagi Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Wakil Menteri Denny Indrayana yang baru.

"Bila dulu Pak Denny banyak memberikan kritik kepada pak Patrialis mengenai hal ini, kini saatnya dia harus buktikan mampu tidak menangani persoalan ini."

Napi di Lapas Martapura Kecewa Moratorium Bebas Bersyarat

JAKARTA - Beberapa narapidana mengeluhkan moratorium pembebasan bersayat yang diberlakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin. Mereka batal bebas beberapa waktu lalu setelah pembebasan bersyaratnya dibatalkan Menkumham melalui faksimili.

Demikian antara lain temuan anggota Komisi III Fraksi PKS Aboe Bakar saat mengunjungi Lapas Martapura di tengah kegiatan resesnya di Kalimantan Selatan, yang disampaikan melalui pesan singkatnya kepada Okezone, Kamis (10/11/2011),

Aboe menyesalkan kebijakan MenkumHAM yang dikirim melalui faksimili itu ke lapas-lapas, karena hal itu menunjukkan bahwa Menkumham tidak menunjukkan rasa adil kepada semuanya.

“Inilah bukti diskresi Menkumham telah memakan korban, masak orang dapat dirampas kemerdekaannya hanya dengan sebuah faksimili saja”, keluh Aboe.

“Gimana nasib Pak Putu, Zainal, Ery dan Tabrani, tidak hanya mereka, keluarga mereka juga telah banyak berharap untuk bebas, siapa pula yang kasih makan anak isteri mereka. Kasihan tuh pak Putu, seharusnya bebas tanggal 5 sampai sekarang masih harus dipenjara, lantas dimana keadilan, dimana kepastian hukum,” jelasnya merujuk pada narapidana yang batal bebas.

Aboe menyesalkan mereka yang seharusnya bebas itu hanya jadi korban pencitraan semata dari kebijakan Menkumham. “Yang saya sesalkan ketika ini semua hanya untuk pencitraan, berarti mereka ini kan korban politik pencitraan saja," katanya.

Aboe, tidak mempersoalkan moratorium yang pernah diwacanakan oleh Menkumham. Namun, dia meminta kebijakan itu dilandasi aturan hukum yang jelas. “Secara prinsip saya setuju tentang moratorium remisi buat koruptor dan teroris, tapi bukan begini caranya. Lakukan dengan legal dan ikuti tata kelola pemerintahan yang baik,” pungkasnya.

Ada Empat Korban Fax Menkumham di Lapas Martapura

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi PKS, Aboebakar Alhabsy mengungkap, banyaknya napi yang mengeluhkan adanya fax dari menkumham di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Martapura. Akibat fax dari Kemenkumham itu, empat napi di Lapas Martapura, batal menghirup udara bebas.

"Inilah bukti diskresi Menkumham telah memakan korban. Masak orang dapat dirampas kemerdekaannya hanya dengan sebuah fax saja," kata Aboebakar mengungkap, saat melakukan kunjungan kerja ke Martapura, Kalimantan Selatan, Jumat (11/11/2011).

Aboe yang juga anggota Komisi III DPR ini menyesalkan, empat orang yang batal bebas gara-gara fax tersebut. Para napi yang batal bebas itu antara lain, Putu, zainal, Ery dan Tabrani. Padahal, kata Aboe, keluarganya sudah berharap kepulangan mereka yang sedianya sudah bisa menghirup udara bebas.

"Kasihan tuh Pak Putu. Harusnya, bebas tanggal 5 sampai sekarang masih harus di penjara. Nah, dimana keadilan, dimana kepastian hukum. Kesannya, moratorium remisi ini, hanya untuk pencitraann. Sama saja, mereka yang batal bebas, adalah para korban politik pencitraan saja," Aboebakar, politisi PKS yang juga salah seorang anggota Komisi III DPR ini.

"Secara prinsip, saya setuju tentang moratorium remisi buat koruptor dan teroris. Akan tetapi, bukan begini caranya,lakukanlah dengan legal dan ikuti tata kelola pemerintahan yang baik," ujar Aboebakar.

Pengetatan Remisi Koruptor Langgar HAM

BANJARMASIN--MICOM: Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang melakukan pengetatan pemberian remisi (pengurangan hukuman) bagi terpidana korupsi dinilai prematur dan melanggar HAM. Banyak napi batal bebas akibat kebijakan sepihak yang justru merusak tatanan hukum di Indonesia tersebut.
"Kebijakan pengetatan remisi ini prematur dan telah mengacak-acak prosedur hukum. Akibatnya, banyak napi yang seharusnya bebas malah tertahan dan menggantung," tutur Aboe Bakar Al Habsy, anggota Komisi III DPR, ditemui usai melakukan kunjungan ke sejumlah LP di Kalimantan Selatan, Jumat (11/11).

Celakanya, keputusan Kementerian Hukum dan HAM untuk membatalkan kebebasan seseorang yang sebelumnya sudah dibekali SK Menteri, hanya dengan selembar faks saja. Aboe Bakar menyebut kebijakan ini hanya bagian dari pencitraan kabinet baru, tetapi dampaknya sangat besar dan merugikan masyarakat, serta wajah hukum di Tanah Air.

Sebagai contoh, di LP Martapura, Kabupaten Banjar, tercatat ada empat orang napi yang seharusnya bebas menjadi tertahan karena kebijakan pengetatan ini.

"Jika ingin menerapkan kebijakan baru atau mengubah undang-undang, seharusnya harus melalui prosedur yang benar. Artinya, perlu persetujuan DPR," keluhnya.

Empat orang napi yang batal bebas akibat kebijakan ini, yaitu Ery Purwana, HM Tabrani, Zainal Hakim, dan Putu Karsana. Demikian juga dengan LP Teluk Dalam, Banjarmasin. Dari LP terbesar di Kalsel ini, dilaporkan ada sejumlah nama napi perkara korupsi yang batal bebas.

Menurut politisi dari PKS ini, upaya penegakan hukum memang penting, tetapi harus sesuai dengan aturan. Yang terjadi, Kementerian Hukum dan HAM justru melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.

Pada bagian lain, Aboe Bakar juga menyoroti masih buruknya tata kelola LP yang ada di sejumlah daerah termasuk Kalsel. Sebagian besar LP dalam kondisi kelebihan kapasitas.

LP Martapura, dengan kapasitas 183 orang, diisi sebanyak 698 orang. Demikian juga dengan Lapas Teluk Dalam, dari kapasitas 336 orang tetapi dihuni 1.326 orang.

Di Kalsel jumlah napi dan tahanan penghuni LP mencapai 4.093 orang. Sementara kapasitas total lapas yang ada hanya 1.578 orang.

Rabu, 09 November 2011

Tunda Pendirian 33 Pengadilan Tipikor Daerah!

INILAH.COM, Jakarta - Banyaknya putusan bebas terhadap koruptor di Pengadilan Tipikor Daerah, akibat dari sulitnya pengawasan.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai semakin banyak Tipikor di daerah maka semakin sulit dilakukan pengawasan. Oleh karena itu pembentukan pengadilan Tipikor diseluruh provinsi, tidak perlu dilakukan.

"Kalau ditambah, pengawasan jadi sulit, maka akan sulit dipantau bila ada mafia peradilan, sehingga putusannya akan bisa dipantau. Saya kira yang sekarang ada sudah cukup," jelas anggota Komisi III DPR dari PKS Aboe Bakar Al-Habsyi kepada INILAH.COM, Selasa (8/11/2011).

Berdasarkan UU No 46 tahun 2009, Mahkamah Agung (MA) telah membentuk pengadilan Tipikor di 33 pengadilan negeri dan 30 pengadilan Tipikor tingkat banding.

Ada 15 di antaranya diresmikan MA pada oktober 2011, 14 diresmikan April 2011 dan pada November 2010 diresmikan Tipikor Bandung, Semarang serta Surabaya. "Untuk memantau yang ada itu saja sudah cukup repot, jadi jangan ditambah lagi," pintanya.

Dia mengusulkan, agar tidak semua provinsi ada pengadilan Tipikor. Cukup di beberapa tempat yang sekarang sudah ada. "Misal dibuat korwil saja. Ada Surabaya yang bisa handle Indonesia timur, ada Banjarmasin yang dapat handle Indonesia tengah, sedang Sumatera bisa di handle oleh Medan," jelasnya.

Sejauh ini, polemik yang berkembang adalah Tipikor daerah dibubarkan. Ada juga yang menilai masalah ini karena kualifikasi hakim yang ada tidak memadai. "Saya rasa penyederhanaan jumlah ini lebih baik daripada pembubaran," ujarnya.

PKS Tolak Ide Pembubaran Pengadilan Tipikor Daerah

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboebakar Alhabsy tidak setuju ide untuk membubarkan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah. Menurutnya, keberadaan Tipikor daerah, semangatnya untuk memberantas segala bentuk korupsi.

"Saya lihat peradilan Tipikor masih diperlukan, mengingat load perkaranya yang cukup tinggi. Peradilan ini juga diperlukan agar persoalan Tipikor dapat diproses dalam persidangan yang benar" telah menguasai persoalan korupsi, mengingat tindak pidana ini termasuk "extra ordinary crime", hal ini sesuai semangat bangsa ini dalam memberantas korupsi. Namun, memang diperlukan perbaikan atas atas penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah," kata Aboebakar, Selasa (08/11/2011).

Satu diantaranya adalah, jelas Alhabsy, pola rekruetmen hakim ad hoc, belajar dari pengadilan Tipikor Bandung yang memiliki hakim mantan terpidana tipikor, sungguh ini preseden tidak baik. Aboebakar berharap, keterlibatan Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim ad hoc akan mampu menjawab persoalan ini.

Harus diperhatikan pula, ujar Aboe lagi, kualitas dan integritas para jaksa penuntut umum yang menangani persoalan korupsi, mereka harus mampu menghadirkan alat bukti yang proper dan firm, Jangan sampai sebuah perkara yang tidak cukup bukti atau bahkan bukan tindak pidana dipaksakan masuk pengadilan.

"Saya lihat kabijakan KPK patut dicontoh, dimana dalam sop internal mereka mewajibkan adanya empat alat bukti, bukan sekedar dua alat bukti. Dengan demikian, akan ada keyakinan sangat kuat bahwa perkara tindak pidana korupsi tersebut memang telah layak masuk ke pengadilan tipikor," tegasnya.

Pada sisi lain, imbuhnya, perlu peningkatan kualitas pengawasan yang dilakukan oleh KY dan Komjak atas kinerja dan integritas hakim serta jaksa dalam proses persidangan tipikor, yang diyakinnya akan efektif untuk menghalau mafia peradilan tipikor.

"Hemat saya, diperlukan perbaikan manajemen peradilan tipikor, seperti MK misalnya, transparansi dan profesionalisme sistem peradilan sangat diperlukan, sehingga masyarakat dan LSM pegiat anti korupsi akan dapat mengakses persidangan dengan mudah, tidak ada lagi kongkalikong antara orang disekitar peradilan tipikor dengan para terdakwa korupsi," Aboebakar menjelaskan.

"Karenanya jangan lagi menambah jumlah pengadilan tipikor daerah, saya tidak sepakat bila pengadilan ini dibentuk disetiap daerah, cukup sudah," Aboebakar menegaskan.

Satgas Mafia Hukum Tak Perlu Diperpanjang

Jakarta, PelitaOnline - Masa kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) akan segera berakhir. Ketua Satgas PMH mengajukan perpanjangan terhadap SBY, namun pengajuan tersebut mendapatkan kritik tajam. Pasalnya keberadaannya dinilai tidak membawa prestasi apa-apa.

"Saya kira tidak perlu diperpanjang, biarlah Kepres 37/2009 berakhir. Tidak ada prestasi yang dibuat oleh Satgas PMH. Keberhasilannya membawa Gayus Tambunan dari Singapura dinilai akal-akalan saja," kata Anggota Komisi Hukum Aboe Bakar Al Habsyi, Selasa (8/11).

Menurutnya, penangkapan Gayus oleh Satgas PMH tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan Gayus sendiri mengaku kerap berkomunikasi dengan salah satu anggota Satgas Denny Indrayana.

"Kita jadi tahu yang mereka lakukan cenderung transaksional," paparnya.

Selain itu, jelas dia, pembongkaran sel mewah milik Ayin dan napi lainnya pun cenderung hanya pencitraan belaka.

"Belakangan Patrialis mengaku persoalan ini dipolitisasi," imbuhnya.

Aboe menjelaskan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum memiliki kewenangan melebihi Menkopolhukam ternyata tidak bisa berbuat banyak, tetapi justru hanya menambah jumlah Satgas di republik ini.

"Lembaga ini unik dan sedikit aneh, bisa dikatakan dibawah UKP4 tetapi berwenang bekerjasama dengan MA, MK, Polri, Kejaksaan, KY dan segudang lembaga lain, bisa mengambil data dari seluruh instansi pemerintah pusat, Pemda, BUMN, BUMD dan pihak lain yang dirasa perlu," jelasnya.

"Sedemikian powerfull-nya Satgas ini, namun apa yang bisa diperbuat pada kasus Mafia Pajak, Mafia Pemilu, kasus Nazarudin, kasus Hambalang, Wisma Atlet ataupun kasus PPID di kemenakertrans, sepertinya Satgas telah mati gaya."

Sementara, bila yang dilakukan Satgas PMH selama ini lebih banyak menerima pengaduan masyarakat, sebenarnya sudah ada layanan SMS ke 9949 dan kotak pos po box 9949, "Kenapa harus ada satgas lagi."

Aboe menilai upaya Satgas PMH sangat berbeda dengan yang telah dilakukan KPK. Sehingga sudah saatnya kewenangan yang dimiliki Satgas ini dijalankan langsung oleh presiden.

"Akan lebih baik hasilnya bila beliau turun gunung, rakyat akan membaca bahwa pemberantasan korupsi yang disampaikan presiden bukan sekedar retorika, apalagi sekedar pidato. Saya lihat, rakyat merindukan hal yang demikian, pemberantasan mafia hukum adalah 'gawe' besar negara ini, jadi sangat wajar bila presiden menyisingkan lengan untuk melakukannya sendiri," tandasnya.

Dilema Tipikor Daerah, Keadilan vs Legalitas

INILAH.COM, Jakarta - Kondisi pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah belakangan menimbulkan dua pendapat yang sama ekstrem. Ada yang ingin dibubarkan, ada pula yang ingin mempertahankan. Ini sama saja mempertentangkan asas keadilan dan legalitas hukum, mana yang dipilih?

Dua pendapat ekstrem muncul dalam menyikapi fenomena pengadilan Tipikor di daerah. Hal ini setelah Pengadilan Tipikor membebaskan sedikitnya 40 terdakwa korupsi yang tersebar di sejumlah daerah. Sayangnya, perdebatan di ruang publik yang melibatkan pemangku kebijakan baik, aparat penegak hukum, hingga kalangan legislator, mayoritas tidak ada solusi nyata atas persoalan di Pengadilan Tipikor.

Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al-Habsy berpendapat cenderung moderat dalam menyikapi persoalan dua kutub yang saling bertengangan. Dia menyebutkan lebih baik dalam menyikapi Pengadilan Tipikor dilakukan penyederhanaan. "Perlu dikaji penyederhanaan, mungkin bisa dibuat Koordinator Wilayah (Korwil) saja," katanya melalui pers rilis yang diterima INILAH.COM di Jakarta, Selasa (8/11/2011).

Dia mencontohkan Pengadilan Tipikor Surabaya bisa menjadi koordinator di wilayah Indoensia bagian timur, pengadilan Tipikor Banjarmasin bisa menjadi korwil untuk wilayah Indonesia tengah serta Medan menjadi korwil Indonesia bagian barat. "Saya rasa penyederhanaan jumlah ini lebih baik daripada pembubaran," cetusnya.

Aboe menyebutkan pendapat ini tidak bertentangan dengan amanat UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Karena hingga saat ini, Mahkamah Agung (MA) telah membentuk pengadilan tipikor di 33 Pengadilan Negeri (PN) serta 30 Pengadilan Tipikor di tingkat banding. "Harus diakui, untuk memantau yang ada saja sulit," aku Aboe.

Pemikiran ini jika diamati memang cenderung moderat di tengah menguatnya dua pendapat yang ekstrem. Perdebatan ini sejatinya antara dua pilihan apakah memilih asas keadilan yang berarti membubarkan pengadilan Tipikor di daerah sebagai wujud meraih keadilan bagi masyarakat yang menilai pengadilan korupsi di daerah tidak memberi rasa keadilan.

Atau justru sebaliknya, mempertahankan pengadilan tipikor tanpa ada kritik sama sekali meski terdapat kondisi obyektif pengadilan Tipikor daerah dengan berpijak asas legalitas sebagaimana yang tertuang di UU No 46 tahun 2009.

Jika keadilan dipertentangkan dengan legalitas, menurut gurubesar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Ashiddiqie harus dipilih asas manfaat dari kedua pilihan tersebut. Pilihan kemanfaatan dalam pengadilan Tipikor daerah semestinya tetap diperhatikan.

Bagaimanapun, Pengadilan Tipikor telah memberi sumbangsih dalam pemberantasan korupsi. Ada 40 terdakwa korupsi yang bebas, tidak berarti harys membakar seluruh pengadilan Tipikor. Jika ada tikus di gudang, bukan gudang yang dibakar namun tikus yang ditangkap. Begitu pula di Pengadilan Tipikor daerah.

Selasa, 08 November 2011

Pola Perekrutan Hakim Tipikor Perlu Diperbaiki!


RMOL. Sampai saat ini pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih dibutuhkan untuk memberantas praktek korupsi yang cukup tinggi.

Karena itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Al Habsy, menilai wacana pembubaran pengadilan Tipikor belum tepat. Pengadilan ini masih diperlukan agar persoalan korupsi dapat diproses dalam persidangan yang benar-benar telah menguasai persoalan korupsi. Apalagi korupsi termasuk kejahatan luar biasa.

"Hal ini ini sesuai dengan semangat bangsa ini dalam memberantas korupsi," kata Aboebakar kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Selasa, 8/11).

Namun Aboebakar juga mengakui keberadaan pengadilan Tipikor perlu terus diperbaiki dan disempurnakan. Terutama pola perekrutan para hakimnya.

"Belajar dari pengadilan Tipikor Bandung yang memiliki hakim mantan terpidana korupsi. Sungguh ini preseden tidak baik dan saya harap pelibatan Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim ad hoc akan mampu menjawab persoalan ini," demikian Aboe.[ysa]

KY Harus Perketat Pengawasan kepada Hakim dan Jaksa Tipikor!

RMOL. Tidak sedikit vonis bebas kepada terdakwa korupsi bukan karena hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tapi karena kualitas dan interitas jaksa penuntut umum yang minim.

Selama ini, banyak jaksa yang tidak mampu menghadirkan alat bukti yang cukup. Sementara di sisi lain, ada juga jaksa yang tidak punya cukup bukti, namun tetap memaksa satu perkara masuk ke pengadilan.

"Saya lihat kabijakan KPK patut dicontoh. Standar operasional prosedur internal KPK mewajibkan empat alat bukti, dan bukan sekedar dua alat bukti. Dengan demikian, akan ada keyakinan sangat kuat bahwa perkara tindak pidana korupsi tersebut memang telah layak masuk ke pengadilan Tipikor," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Selasa, 8/11).

Selain itu, lanjut Aboe, kualitas pengawasan Komisi Yudisial atas kinerja dan integritas hakim dan jaksa harus ditingkatkan. Kualitas pengawasan KY ini akan menghalau mafia peradilan Tipikor.

"Transparansi dan profesionalisme sistem peradilan juga sangat diperlukan sehingga masyarakat dapat mengakses persidangan dengan mudah dan tidak ada lagi kongkalikong antara orang di sekitar peradilan," demikian Aboe. [ysa]

Senin, 07 November 2011

Likuidasi Pengadilan Tipikor Daerah Sesat Pikir?

INILAH.COM, Jakarta - Belakangan gagasan melikuidasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengemuka. Ini disebabkan sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah melepas sejumlah terdakwa kasus korupsi. Beginikah jalan keluar atasi persoalan ini?

Sedikitnya, 40 terdakwa korupsi yang bebas di meja sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebanyak 21 terdakwa Tipikor Surabaya, 14 terdakwa di Tipikor Samarinda empat terdakwa di Tipikor Samarinda, dan satu terdakwa di Tipikor Semarang. Fakta inilah yang memantik usulan agar Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan.

Sejumlah tokoh, Wakil Menteri Hukum dan HAM, politisi, hingga aktivis LSM menyuarakan agar Pengadilan Tipikor dibubarkan. Tak tanggung-tanggung, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga mengutarakan pendapat untuk melikuidasi pengadilan tipikor di daerah.

Usai bertemu dengan pimpinan KPK awal pekan lalu, Denny mengungkapkan pihaknya berbicara dengan Pimpinan KPK tentang rencana revisi RUU Pengadilan Tipikor di daerah setelah melihat kondisi mutakhir Pengadilan Tipikor di daerah. "Soal pengadilan tipikor di daerah efektif atau tidak," katanya.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD juga menyuarakan agar Pengadilan Tipikor dibubarkan. "Gagasan untuk meninjau kembali atau kasarnya membubarkan pengadilan tipikor di daerah itu menjadi masuk akal dan lebih baik dikembalikan ke pengadilan umum," kata Mahfud MD akhir pekan lalu di kantornya.

Namun bukan tanpa soal ide melikuidasi pengadilan tipikior. Sejumlah politisi Senayan mengingatkan agar hati-hati dalam merespons kondisi di Pengadilan Tipikor. Selain diatur di UU Pengadilan Tipikor, persoalan tersebut harus dilihat secara komprehensif.

Anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi PKS Aboe Bakar al-Habsy mengakui tidak menampik realitas yang terjadi di lapangan. Hanya saja, dia mengingatkan agar persoalan yang terjadi di Pengadilan Tipikor tidak dipukul rata.

"Pembubaran (pengadilan tipikor) bukan solusi terbaik atas persoalan ini, karena masing-masing kasus persoalannya berbeda, tidak bisa dipukul rata," ujarnya kepada INILAH.COM melalui BlackBerry Messenger (BBM), Minggu (6/11/2011).

Dia mengingatkan, bisa saja persoalan yang muncul di Pengadilan Tipikor disebabkan penuntut yang bermasalah ataupun memang alat buktinya tidak cukup. "Karenanya perlu ada evaluasi mengenai penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas dan pengawasan," tegasnya.

Aboe berharap agar MA meningkatkan supervisi kepada hakim Pengadilan Tipikor begitu pula Komisi Yudisial (KY) sepatutnya meningkatkan pengawasan terhadap para hakim. "Jaksa agung maupun KPK perlu juga melakukan gelar perkara atas dakwaan dan tuntutan yang telah dibuat," katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi PPP Ahmad Yani mengatakan usulan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang mendorong agar koruptor dibawa dan diadili di Jakarta merupakan usulan yang melanggar UU.

Dia menyebutkan UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "UU No 46 Tahun 2009, dan saat ini sudah terbentuk pengadilan Tipikor tingkat pertama di 33 Pengadilan Negeri (PN) di ibukota Provinsi dan tingkat banding di 30 Pengadilan Tinggi," kata Yani.

Politikus PPP ini menyebutkan jika Pengadilan Tipikor dipindahkan ke Jakarta maka konsekuensinya mencabut UU tersebut. Padahal, sambung Yani, pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan aspirasi dari LSM.

"UU peradilan Tipikor yang mewajibkan seluruh provinsi harus ada. Maka MA baru membentuk beberapa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumsel, Sulsel, Kaltim, Jatim, Sumut, Lampung," kata Yani.

Anggota Komisi Hukum dari Fraksi PKB Marwan Ja'far juga mengingatkan agar usulan pembubaran Pengadilan Tipikor tidak secara gegabah harus dilakukan secara komprehensif. Dia mengingatkan kebijakan jangan berbasi reaktif.

Hal senada dikatakan staf pengajar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana yang menyebutkan persoalan Pengadilan Tipikor di daerah lebih terletak pada rekruitmen hakim di Pengadilan Tipikor. Pembenahan rekruitmen para hakim Tipikor di daerah dinilai sebagai jalan keluar atas persoalan di Pengadilan Tipikor.

Gagasan penghapusan pengadilan tipikor di daerah tak ubahnya dengan ide moratorium remisi ala Denny Indrayana. Jika tak hati-hati justru kebijakan akan menjadi blunder. Kebijakan tak hanya bermodal semangat, namun pengetahuan yang cakap juga menjadi pijakan yang harus dipenuhi. Apakah harus membakar lumbung padi jika di dalamnya ada tikus? Bukan begitu, kan?

Pembubaran Pengadilan Tipikor bukan Solusi

JAKARTA--MICOM: Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboebakar Alhabsy menilai desakan pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah, bukan solusi untuk menghentikan pemberian vonis ringan terhadap terdakwa koruptor.

"Memang terdapat kemungkinan peradilan daerah sebagai salah satu penyebab banyaknya koruptor yang bebas, karena sulit melakukan pemantauan. Namun pembubaran bukan solusi terbaik atas persoalan ini, karena masing-masing kasus persoalannya berbeda, tidak bisa dipukul rata," ujarnya melalui pesan singkat, Minggu (6/11).

Ia khawatir, jika pengadilan tipikor daerah dibubarkan, akan berakibat pada menumpuknya perkara pada pengadilan tipikor di tingkat pusat. "Kalau semua ditangani pusat akan overload. Karenanya perlu ada evaluasi mengenai penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas dan pengawasan," jelasnya.

Bubarkan Pengadilan Tipikor Bukan Solusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan untuk menindaklanjuti wacana pembubaran pengadilan tipikor dianggap bukan solusi terbaik. Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Aboebakar Alhabsyi, mengatakan memang ada kemungkinan pengadilan tipikor daerah sebagai salah satu penyebab banyaknya koruptor yang bebas.

"Tetapi bukan berarti membubarkan pengadilan itu menjadi solusi terbaik," katanya kepada Republika, Ahad (6/11). Sebab, ia menyakini setiap kasus yang mampir di dalam proses pengadilan tipikor di daerah tidak bisa disamaratakan.

Ada kemungkinan penuntutnya yang bermasalah ataupun memang alat buktinya tidak cukup. Karena itu, lebih baik melakukan evaluasi mengenai penyelenggaraan pengadilan tipikor di daerah terlebih dahulu dibandingkan langsung dilakukan pembubaran.

"Ini juga untuk meningkatkan kualitas dan pengawasan. Saya rasa terlalu sumir untuk disimpulkan jika langsung direspon dengan pembubaran" katanya.

Ia mengharapkan Mahkamah Agung perlu meningkatkan supervisinya ke hakim-hakim tipikor yang ada. Sedangkan Komisi Yudicial sepatutnya meningkatkan pengawasan. Jaksa Agung maupun KPK pun perlu juga melakukan gelar perkara atas dakwaan dan tuntutan yang telah dibuat.

"Ide pembubaran akan sulit diterima mengingat besarnya beban perkara tipikor. Terlebih jika hanya ditangani di pusat ditakutkan akan over load," katanya.

Dikaji, Pembubaran Pengadilan Tipikor di Daerah

PENGADILAN tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah kian rajin menjatuhkan vonis bebas. Sejumlah pihak mendesak agar pengadilan tipikor daerah dibubarkan dan dikembalikan ke pengadilan umum.

Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengkaji usul pembubaran pengadilan tipikor daerah. Alasannya, kata Amir di Jakarta kemarin, sejumlah putusan pengadilan tipikor daerah dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.

"Pengadilan tipikor di daerah sudah berubah warna dari pengadilan tipikor di pusat. Perubahan warna inilah yang telah menyakiti perasaan masyarakat akibat putusan-putusannya," kata Amir.

Tentu tidak mudah membubarkan pengadilan tipikor karena harus melalui revisi UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebab keberadaan pengadilan tipikor daerah, merupakan amanat UU 46/2009.

"Kami berharap DPR mendukung kajian serta usulan revisi UU tersebut."

Pengadilan tipikor daerah yang membebaskan terdakwa korupsi di antaranya Bandung, Jawa Barat, dan Lampung. Terakhir Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur, membebaskan 14 anggota DPRD Kutai Kartanegara, terdakwa korupsi APBD Kaltim sebesar Rp2,9 miliar.

Ketua KPK Busyro Muqoddas tidak buru-buru menyetujui usul pembubaran pengadilan tipikor daerah. Dia mengimbau institusi penegak hukum duduk bersama mengevaluasi panen vonis bebas kasus korupsi belakangan ini. Dengan begitu, diharapkan muncul konsep evaluasi yang sama antara KPK, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Busyro juga menganggap perlu masukan dari lembaga swadaya masyarakat pemerhati hukum seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menurut dia, vonis bebas majelis hakim pengadilan tipikor daerah perlu dilakukan eksaminasi secara lintas (cross examination). Dakwaan jaksa penuntut umum baik dari kejaksaan maupun KPK juga dievaluasi.

Sebelumnya Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengusulkan pengadilan tipikor daerah dibubarkan. Dia menilai pengadilan tipikor daerah lebih jelek daripada pengadilan umum.

Bukan solusi

Meski sejumlah pihak mendesak pengadilan tipikor daerah dibubarkan, anggota Komisi III Aboebakar Alhabsy (F-PKS) menilai itu bukan solusi.
"Masing-masing kasus persoalannya berbeda," ujarnya kemarin.

Ia khawatir jika pengadilan tipikor daerah dibubarkan akan menumpuk perkara di tipikor pusat. "Perlu ada evaluasi penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah untuk peningkatan kualitas dan pengawasan," jelasnya.

Dia berharap MA meningkatkan supervisi terhadap hakim tipikor.

Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin juga tidak setuju pembubaran pengadilan tipikor daerah. Namun, dia mengusulkan penghentian sementara alias moratorium persidangan pengadilan tipikor daerah.

Persidangan pengadilan tipikor daerah dimulai lagi jika di daerah itu telah siap dengan hakim yang berintegritas dan berkualitas yang memutuskan perkara sesuai rasa keadilan masyarakat.

Tata ulang Pengadilan Tipikor daerah

Sindonews.com - Pegadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah tengah disorot lantaran banyak memvonis bebas tedakwa koruptor. Hal ini mengundang keprihatinan publik karena menjadi sinyalemen buruk terhadap pemberantasan korupsi.

Buntutnya, muncul desakan untuk mengevaluasi Pengadilan Tipikor daerah, bahkan sampai ada yang mengusulkan untuk dibubarkan, dan dikembalikan ke pusat. Namun, wacana pembubaran Pengadilan Tipikor juga banyak menuai pro dan kontra. Sebab, pembubaran bukan solusi.

Ketua Fraksi PKB yang sekaligus anggota Komisi III Marwan Jafar meminta semua pihak tidak reaktif dalam menilai kebobrokan Pengadilan Tipikor daerah tersebut. Marwan kurang sepakat jika Pengadilan Tipikor itu serta merta ditutup. Dia mengusulkan agar ada perbaikan sistem secara menyeluruh.

“Kita harus tata sistemnya dulu secara komprehensif, tidak reaktif. Kita kaji dan dalami secara matang. Tidak bisa parsial asal komentar,” ujar Marwan, Minggu (6/11/2011).

Jika semua pihak melihat dengan utuh akan keberadaan Pengadilan Tipikor daerah maka nantinya langkah yang diambil tidak akan salah. “Kita melihatnya musti utuh dan terpola, terencana dengan matang,” kata dia.

Marwan mengakui untuk menata sistem itu tidak gampang, sebab dibutuhkan kebersamaan dalam membenahinya. “Menata sistem tidak mudah, butuh duduk bersama dan berpikir jernih,” tandasnya.

Hal senada diutarakan politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari yang mendesak agar Pengadilan Tipikor daerah dikajian ulang. Menurut hasil kunjungan kerjanya bersama Komisi III lainnya ke Maluku, terdapat beberapa kendala teknis yang menyulitkan bagi jaksa penuntut dalam melaksanakan sidang di Tipikor. Seperti jauhnya lokasi penuntut dengan Pengadilan Tipikor daerah, sehingga harus memakan biaya tinggi.

“Tipikor perlu dikoreksi. Hasil kunker Komisi III ke Maluku Utara yang kepulauan, sungguh mejadi beban bagi penuntut. Dari Kabupaten Tabuha, harus menempuh 14 jam ke Pengadilan Tipikor di Ternate. Tentu ini memerlukan biaya transport yang tinggi untuk menghadirkan saksi dan ahli,” ujar Eva.

Hal tersebut kata Eva membuat jaksa penuntut menjadi patah semangat ketika para hakim memutus ringan para koruptor. “Kesulitan teknis ini menjadi parah ketika putusan para hakim tipikor amat ringan bahkan membebaskan. Penuntut menjadi hilang semangat kan, sehingga justru kehadiran Pengadilan Tipikor menjadi kontra produktif,” imbuhnya.

Untuk mengatasi hal itu, Eva mengusulkan dua cara. Pertama, penyelenggaraan Pengadilan Tipikor dibuat fleksibel. “Misalnya majelis hakim dihadirkan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan pelaksanaan sidang dibuat intensif,” ucapnya.

Kedua, dihilangkan tetapi menguatkan hakim-hakim Pengadilan Negeri (PN) agar sertifikasi dilaksanakan meluas, untuk hakim-hakim PN. “Ini lebih masuk akal, karena tindak pidana korupsi merata hingga di PN. Kedua opsi tersebut bisa jadi pilihan untuk revisi UU yang ada,” terangnya.

Sulit dipantau

Begitu pula dengan politikus PKS Aboe Bakar, menilai banyaknya para koruptor yang bebas tak lepas dari andil Pengadilan Tipikor daerah. Sebab, keberadaannya sulit untuk dipantau. Meski demikian, kata dia pembubaran pengadilan tipikor bukanlah solusi dalam memperketat hukuman bagi para koruptor.

"Memang terdapat kemungkinan peradilan daerah sebagai salah satu penyebab banyaknya koruptor yang bebas, karena sulit melakukan pemantauan. Namun pembubaran bukan solusi terbaik atas persoalan ini, karena masing" kasus persoalannya berbeda, tidak bisa dipukul rata," ujar Aboe Bakar kepada okezone, Sabtu (5/11/2011).

Lanjut Aboe Bakar, kata dia lolosnya para koruptor itu bisa disebabkan karena tuntutannya yang lemah atau bisa saja karena buktinya yang tidak lengkap. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera melakukan evalausi terkait keberadaan tipikor daerah itu.

"Ada kemungkinan penuntutnya yang bermasalah ataupun memang alat buktinya tidak cukup. Karenanya perlu ada evaluasi mengenai penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas dan pengawasan, saya rasa terlalu sumir untuk disimpulkan perlu pembubaran," kata dia.

Aboe Bakar juga meminta agar Mahkamah Agung (MA) benar-benar melakuka supervisi terhadap bawahannya. Begitu juga dengan Komisi Yudisial (KY), harus memperketat pengawasannya terhadap para hakim di daerah itu.

"Saya harap MA perlu meningkatkan supervisi ke hakim tipikor, sedang KY sepatutnya meningkatkan pengawasan. Jaksa Agung maupun KPK perlu juga melakukan gelar perkara atas dakwaan dan tuntutan yang telah dibuat," imbuhnya.

Bagi anggota Komisi III itu, pembubaran tipikor daerah bukannlah solusi satu-satinya. Sebab jika dikembalikan ke Jakarta, maka perkara para koruptor itu sulit bisa dengan cepat diselesaikan. "Ide pembubaran akan sulit diterima mengingat besarnya beban perkara tipikor, jadi kalau semua ditangani pusat akan over load," pungkasnya.

Sebelumnya, kinerja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah mulai diragukan. Belakangan muncul usulan menghapus keberadaan Pengadilan Tipikor daerah untuk kembali berpusat di Jakarta. Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebut ada 40 terdakwa perkara korupsi yang divonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor di daerah.

Vonis bebas tersebut terdiri dari empat vonis bebas di Bandung, Jawa Barat; satu di Semarang, Jawa Tengah; 14 di Samarinda, Kalimantan Timur; dan 21 di Surabaya, Jawa Timur. "Vonis bebas ini karena dakwaan lemah, hakim lemah yang membuat adanya mafia peradilan," kata Emerson.

Menurutnya, vonis bebas itu juga terjadi karena gagalnya Mahkamah Agung menyeleksi hakim khusus tindak pidana korupsi. "Juga pengawasan hakim yang masih lemah," jelasnya.

PKS Setuju dengan Moratorium Remisi untuk Koruptor Bila...

RMOL. Secara prinsip Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sepakat dengan moratorium remisi untuk teroris dan koruptor.

"Namun harus dilakukan atas dasar pro justicia, demi keadilan. Jangan sekedar buat pencitraan," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Minggu, 6/11).

Menurut Aboebakar, moratorium remisi bagi koruptor harus dilakukan secara legal dan konstitusional, seperti mengubah dulu UU tentang Pemasyarakatan. Hal ini penting, agar masyarakat diberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum.

"Dengan demikian kelihatan wibawa negara dalam menjalankan pemerintahan," kata Aboebakar.

Aboebakar juga berharap SBY segera mengingatkan para menteri, terutama Menteri Hukum dan HAM, agar bekerja serius dan tidak sekedar mencari popularitas dan pencitraan.

Habib PKS Kehabisan Kata-kata untuk Komentari Denny Indrayana

RMOL. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyesalkan pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.

Denny mengatakan bila moratorium remisi disebut untuk pencitraan, maka hal itu tidak masalah sebab memang untuk mencitrakan bahwa Indonesia bukan surga koruptor, tapi neraka bagi koruptor.

"Ini gawat dan pertanda bad first step dari hasil reshuffle," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Minggu, 6/11).

Menurut Habib, panggilan akrab Aboebakar, sikap dan kebijakan Denny telah merusak kepastian hukum dan sistem pidana di Indonesia. Kemerdekaan Paskah Suzetta pun telah dirampas, hanya sekedar untuk pencitraan. Paskah telah menjadi korban politik pencitraan Denny Indrayana.

"Kasihan Paskah Suzetta cs. Saya sudah speechless untuk mengomentari Denny," demikian Habib.

Kamis, 03 November 2011

PKS Minta SBY Beri Arahan pada Menteri Amir Syamsuddin

RMOL. Kebijakan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin terkait moratorium remisi bagi para koruptor hanya sebuah pencitraan belaka. Bila serius, semestinya Amir Syamsuddin mengajak DPR untuk merevisi dulu UU Pemasyarakatan atau Presiden SBY secara langsung membuat Peraturan Presiden pengganti UU.

"Mari lakukan secara konstitusional, Rakyat jangan dibodohi dengan model pencitraan seperti ini," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Kamis, 3/11).

Aboebakar juga menyesalkan kebijakan Amir Syamsuddin itu disampaikan secara lisan. Pemberlakuan instruksi lisan secara retroaktif ini merusak sendi-sendi hukum di Indonesia, dan apalagi tidak bisa sebuah produk hukum diberlakukan surut ke belakang.

"Dalam konteks ini saya lihat ada pelanggaran HAM dan pendzaliman terhadap para narapidana yang seharusnya bebas. Seorang yang seharusnya sudah bebas menurut peraturan dan hukum yang berlaku, namun kebebasannya harus dirampas hanya berdasar instruksi lisan Menteri," tegas Aboe.

"Dan saya harap Pak Presiden SBY dapat memberikan arahan pada Menteri. Mari kita bernegara yang baik dan beradministrasi yang tertib," demikian Aboebakar.

PKS: Moratorium Remisi Koruptor Pencitraan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan kementerian Hukum Dan HAM mengeluarkan moratorium remisi Koruptor itu hanya pencitraan. Sebab, bila memang ingin moratorium persoalan remisi haruslah dilakukan revisi UU pemasyarakatan.

"Perlu diketahui, masalah remisi sudah diatur dalam pasal 34 UU No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, itu merupakan hak narapidana," kata Ketua DPP PKS Bidang Advokasi dan HAM, Aboebakar Alhabsy, Rabu (02/11/2011).

Karena hak, Aboebakar menegaskan, maka harus diberikan, itu konsekuensinya. Pengaturan PP, katanya lagi, harus merujuk pada UU tersebut. Karenanya, tidak bisa dibuat aturan yang bertentangan dengan UU pemasyarakatan.

"Bila memang ada itikad baik untuk memperbaiki UU pemasyarakatan, seharusnya pemerintah meminta DPR, atau mengajak DPR untuk melakukan perbaikan UU tersebut. Rakyat jangan dibodohi dengan model pencitraan seperti ini," tandasnya.

Disisi lain, sambung Aboebakar, persoalan bukan cuma karena remisi, kualitas putusan hakim juga berpengaruh. Bila para koruptor dihukum ringan, maka kesungguhan hakim dalam memberi efek jera akan diragukan. Bila persoalan terbukti atau tidak adalah kewenangan hakim, tergantung keyakinan mereka.

"Namun, bila koruptor ratusan milyar atau trilyunan hanya dihukum beberapa tahun, maka hakim telah menciderai rasa keadilan masyarakat. Bandingkan dengan pencuri semangka, pencuri kapas ataupun biji kopra yang hanya untuk menyambung nyawa," demikian Aboebakar Alhabsy.

Moratorium Koruptor Hanya Pencitraan

itoday - Kementerian Hukum dan HAM yang mengeluarkan kebijakan moratorium remisi koruptor bagian upaya pencitraan yang dilakukan pemerintah.

"Itu hanya pencitraan dan tidak memberikan efek jera," kata kata Anggota Komisi III DPR, dari Fraksi PKS, Aboebakar Alhabsy, Selasa (2/11).

Menurut Aboebakar, dalam mengatasi persoalan perilaku para narapidana koruptor bukan melalui moratorium tetapi revisi UU pemasyarakatan.

Kata politisi PKS ini, remisi merupakan hak yang harus diberikan kepada setiap narapidana dan bila menjalankan moratorium harus berdasarkan konstitusional. "Jangan acak-acak tata hukum," paparnya.

Pemberlakuan instruksi lisan secara retroaktif ini merusak sendi-sendi hukum di Indonesia, tidak bisa sebuah produk hukum diberlakukan surut ke belakang.

"Dalam konteks ini saya lihat ada pelanggaran HAM dan pendzaliman terhadap para napi yang seharusnya bebas," papar Aboebakar.

Aboebakar meminta Presiden SBY memberikan arahan pada Menkumham untuk bernegara yang baik dan beradministrasi yang tertib.

Moratorium Remisi Rusak Sistem Hukum

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Habib Aboebakar Alhabsyi mengatakan keputusan Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan moratorium remisi koruptor merusak sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, jika keputusan itu menjadi kebijakan permanen makan akan memupus kepastian hukum dalam penegakan hukum (law enforcement).

"Saya belum melihat adanya itikad untuk pemberian efek jera seperti yang disampaikan. Moratorium itu hanya sebatas pencitraan belaka," kata Aboebakar Alhabsyi di Jakarta, Kamis (3/11).

Ditegaskan, jika pemerintah benar-benar ingin melakukan moratorium persoalan remisi, maka harus dilakukan dengan jalan merevisi Undang-undang Pemasyarakatan. Aboebakar juga menegaskan bahwa pemberian instruksi secara lisan yang berdampak pada batalnya beberapa narapidana mendapat remisi merupakan preseden tidak baik dalam proses hukum di Indonesia. Karena, bagaimana pun legal standing remisi sudah jelas diatur dalam pasal 34 UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

"Itu merupakan hak narapidana," tegasnya.

Bila ada instruksi yang bertentangan dengan UU tersebut, imbuh dia, maka akan terjadi abuse of power yang dilakukan Menkum dan HAM. "Karena remisi merupakan hak, maka harus diberikan. Bila ini memang ingin dilakukan, mari lakukan dengan konstitusional. Jangan acak-acak tata hukum kita," kecamnya.

Politisi PKS ini menambahkan dan bila memang ada itikad baik untuk memperbaiki UU Pemasyarakatan, seharusnya pemerintah meminta atau mengajak DPR melakukan perbaikan UU tersebut. Bila tidak, saran dia, presiden seharusnya membuat Peraturan Presiden (Perpes) untuk pengganti UU. "Mari lakukan secara konstitusional. Rakyat jangan dibodohi dengan model pencitraan seperti ini," tegasnya.

Pemberlakuan instruksi lisan secara retroaktif, lanjut Aboe, merusak sendi-sendi hukum di Indonesia. Sebab tidak bisa sebuah produk hukum diberlakukan surut ke belakang. "Dalam konteks ini saya lihat ada pelanggaran HAM dan penzaliman terhadap para napi yang seharusnya bebas," katanya.

Aboebakar melihat, akibat kebijakan ini maka sseeorang yang seharusnya sudah bebas menurut peraturan dan hukum yang berlaku, namun kebebasannya harus dirampas hanya berdasar instruksi lisan menteri. "Saya harap Pak Presiden dapat memberikan arahan pada Menkumham. Mari kita bernegara yang baik dan beradministrasi yang tertib," ajak Aboe.